BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Fenomena masalah anak jalanan
merupakan isu global yang telah mencapai titik mengkhawatirkan. Situasi anak
jalan di Indonesia cukup memprihatinkan karena sampai saat ini
masalah-masalah anak khususnya pada anak-anak yang berada di jalanan belum
mendapat perhatian yang serius dari pemerintah. Jumlah anak yang tinggal di
jalanan terus menerus meningkat dan pemerintah pun tidak mempunyai data anak
yang tinggal di jalanan. anak jalanan merupakan seseorang yang masih belum dewasa
(secara fisik dan phsykis) yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan
dengan melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang guna mempertahankan
hidupnya yang terkadang mendapat tekanan fisik atau mental dari lingkunganya.
Adanya anak jalanan sering kali merugikan orang lain misalnya
berkata kotor, mengganggu ketertiban jalan, merusak body mobil dengan goresan
dan lain-lain. Selain itu permasalahan anak jalan juga adalah sebagai objek
kekerasan. Mereka merupakan kelompok sosial yang sangat rentan dari berbagai
tindakan kekerasan baik fisik, emosi, seksual maupun kekerasan sosial. selain
itu, lingkungan juga sangat mempengaruhi kepribadian dan perilaku sosial anak
jalanan. dimana tempat mereka tinggal banyak preman, membuat anak jalanan
tidak memiliki perilaku social yang baik terhadap masyarakat maupun di
lingkungan tempat tinggal nya. untuk itu, kami akan membahas pengaruh
lingkungan terhadap perilaku sosial anak jalanan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah faktor-faktor
yang mempengaruhi sehingga masalah anak jalanan semakin marak?
2. Bagaimana lingkungan mempengaruhi
perilaku sosial anak jalanan ?
3. Bagaimanakah solusi penanganan
anak-anak jalanan?
1.3 Tujuan
Penulisan
Untuk menambah wawasan pengetahuan
tentang permasalahan sosial khususnya pengetahuan terhadap intervensi komunitas
dalam penanggulangan anak jalanan.
1.4 Metode
Penulisan
Untuk menulis makalah ini penulis
mempergunakan jenis penulisan deskriptif dan mempergunakan data Sekunder. Data
ini diperoleh dari buku-buku, tulisan-tulisan, pendapat para ahli dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku sekarang ini kurang valid dan data ini
diperoleh dengan cara menggunakan studi melalui perpustakaan atau dokumen,
artikel koran dan internet.Dalam hal ini penulis menggunakan metode kualitatif
diskriptif, yaitu menggambarkan keadaan obyektif dilapangan yang dimaksud
dengan metode ini adalah bahwa data yang terkumpul akan diolah dan dihubungkan
dengan isi, yang kemudian dianalisa dan diinterpretasikan atas dasar cara berpikir
yang deduktif dalam mendapatkan suatu kesimpulan dimana disesuaikan dengan
peraturan yang ada.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
dan Karakteristik Anak Jalanan
Istilah anak jalanan pertama kali
diperkenalkan di Amerika selatan, tepatnya di Brazilia, dengan nama Meninos
de Ruas untuk menyebut kelompok anak-anak yang hidup di jalanan dan tidak
memiliki ikatan dengan keluarga. Istilah anak jalanan berbeda-beda untuk setiap
tempat, misalnya di Columbia mereka disebut “gamin” (urchin atau
melarat) dan “chinces” (kutu kasur), “marginais” (criminal atau marjinal) di
Rio, “pa’jaros frutero” (perampok kecil) di Peru, “polillas” (ngrengat) di
Bolivia, “resistoleros” (perampok kecil) di Honduras, “Bui Doi” (anak dekil) di
Vietnam, “saligoman” (anak menjijikkan) di Rwanda. Istilah-istilah itu
sebenarnya menggambarkan bagaimana posisi anak-anak jalanan ini dalam
masyarakat.
Pengertian anak jalanan telah banyak
dikemukakan oleh banyak ahli. Secara khusus, anak jalanan menurut PBB adalah
anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya dijalanan untuk bekerja, bermain
atau beraktivitas lain. Anak jalanan tinggal di jalanan karena dicampakkan atau
tercampakkan dari keluarga yang tidak mampu menanggung beban karena kemiskinan
dan kehancuran keluarganya. Umumnya anak jalanan bekerja sebagai pengasong,
pemulung, tukang semir, pelacur anak dan pengais sampah. Tidak jarang
menghadapi resiko kecelakaan lalu lintas, pemerasan, perkelahian, dan kekerasan
lain. Anak jalanan lebih mudah tertular kebiasaan tidak sehat dari kultur
jalanan, khususnya seks bebas dan penyalahgunaan obat.
Menurut Soedijar (1989) dalam
studynya menyatakan bahwa anak jalanan adalah anak usia antara 7 sampai 15 tahun
yang bekerja di jalanan dan tempet umum lainnya yang dapat mengganggu
ketentraman dan keselamatan orang lain serta membahayakan dirinya sendiri.
Menurut Putranto dalam Agustin (2002) dalam studi kualitatifnya mendefinisikan
anak jalanan sebagai anak berusia 6 sampai 15 tahun yang tidak bersekolah lagi
dan tidak tinggal bersama orang tua mereka, dan bekerja seharian untuk
memperoleh penghasilan di jalanan, persimpangan dan tempat-tempat umum.
Dalam buku “Intervensi Psikososial” (Depsos, 2001:20), anak jalanan adalah anak
yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran
di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya.
Dari definisi-definisi yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa “anak
jalanan adalah seseorang yang masih belum dewasa (secara fisik dan phsykis)
yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan dengan melakukan
kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang guna mempertahankan hidupnya yang
terkadang mendapat tekanan fisik atau mental dari lingkunganya.”
Berdasarkan hasil kajian lapangan,
secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam tiga kelompok (Surbakti dkk.eds
: 1997) :
1.
Children on
the street
Yakni anak-anak yang mempunyai
kegiatan ekonomi – sebagai pekerja anak di jalan, tetapi masih mempunyai
hubungan yang kuat dengan orangtua mereka. Sebagian penghasilan mereka
dijalankan pada kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi
keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti di tanggung tidak
dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya.
2.
Children of
the street
Yakni anak-anak yang berpartisipasi
penuh dijalankan, baik secara social maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka
masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekwensi pertemuan mereka
tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang karena suatu sebab
biasanya kekerasan atau lari dari rumah.
3.
Children
from family of the street
Yakni anak-anak yang berasal dari
keluarga yang hidup dijalanan. Meski anak-anak ini mempunyai hubungan
kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu
tempat ke tempat yang lai dengan segala resikonya (Blanc & Associate,
1990;Irwanto dkk,1995; Taylor & Veale, 1996). Salah satu cirri penting dari
kategori ini adalah pemampangan kehidupan jalanan sejak masih bayi bahkan sejak
masih dalam kandungan. Di Indonesia kategori ini dengan mudah ditemui di berbagai
kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel kereta api dan pinggiran sungai
walau secara kwantitatif jumlahnya belum diketahui secara pasti.
Karakteristik anak jalanan terbagi dua yaitu:
a.
Ciri fisik
-
Warna kulit
kusam
-
Rambut
kemerahan
-
Kebanyakan
berbadan kurus
-
Pakaian
tidak terurus
b. Ciri psikis
-
Mobilitas
tinggi
-
Acuh tak
uacuh
-
Penuh curiga
-
Sangat
sensistif berwatak keras
-
Kreative
-
Semangat
hidup tinggi
-
Berani
tanggung resiko
-
Mandiri
2.2 Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Timbulnya Anak Jalanan
Kehadiran anak jalanan merupakan
sesuatu yang sangat dilematis. keberadaan anak jalanan tentunya mempunyai latar
belakang dan motivasi yang berbeda, salah satu motivasi mereka menjadi anak
jalanan karena tekanan social ekonomi orang tuanya yang tidak cukup untuk biaya
hidup sehari-hari, kemudian berangkat dari keinginan untuk membantu orang tua
mereka, maka mereka melakukan pekerjaan dengan kemampuan yang dimiliki, ada
pula anak jalanan yang melakukan pekerjaan tersebut demi mendapatkan uang
untuk biaya hidupnya.
Tiga tingkatan penyebab keberadaan anak jalanan :
1. Tingkat
mikro (immediate cause), yaitu faktor yang berhubungan dengan anak dan
keluarganya
2. Tingkat
messo (underlying causes), yaitu faktor yang ada di masyarakat
3. Tingkat
makro (basic cause), yaitu faktor yang berhubungan dengan struktur makro.
Pada tingkat mikro sebab yang bisa
diidentifikasi dari anak dan keluarga yang berkaitan tetapi juga bisa berdiri
sendiri, yakni :
1. Lari dari
keluarga, disuruh bekerja baik karena masih sekolah atau sudah putus,
berpetualangan, bermain-main atau diajak teman.
2. Sebab dari
keluarga adalah terlantar, ketidakmampuan orang tua menyediakan kebutuhan
dasar, ditolak orang tua, salah perawatan atau kekerasan di rumah, kesulitan
berhubungan dengan keluarga/tetangga, terpisah dengan orang tua, sikap-sikap yang
salah terhadap anak, keterbatasan merawat anak yang mengakibatkan anak
menghadapi masalah fisik, psikologis dan social.
Pada tingkat messo (masyarakat),
sebab yang dapat diidentifikasi meliputi :
1. Pada
masyarakat miskin, anak-anak adalah asset untuk membantu peningkatan keluarga,
anak-anak diajarkan bekerja yang berakibat drop out dari sekolah.
2. Pada
masyarakat lain, urbanisasi menjadi kebiasaan dan anak-anak mengikuti kebiasaan
itu.
3. Penolakan
masyarakat dan anggapan anak jalanan sebagai calon criminal.
Pada tingkat makro (struktur
masyarakat), sebab yang dapat diidentifikasi adalah :
1. Ekonomi
adalah adanya peluang pekerjaan sektor informal yang tidak terlalu membutuhkan
keahlian, mereka harus lama dijalanan dan meninggalkan bangku sekolah,
ketimpangan desa dan kota yang mendorong urbanisasi.
2. Pendidikan
adalah biaya sekolah yang tinggi, perilaku guru yang diskriminatif, dan
ketentuan-ketentuan teksis yang birokratis yang mengalahkan kesempatan belajar.
3. Belum beragamnya
unsur-unsur pemerintahan yang memandang anak jalanan antara sebagai kelompok
yang memerlukan perawatan (pendekatan kesejahteraan) dan pendekatan yang
menganggap anak jalanan sebagai trouble maker atau pembuat masalah (security
approach/pendekatan keamanan).
2.3 Pengaruh
Lingkungan Terhadap Perilaku Sosial Anak Jalanan
Perilaku anak jalanan selalu
berada dalam situasi rentan dalam segi perkembangan fisik, mental, sosial
bahkan nyawa mereka. melalui stimulasi tindakan kekerasan terus menerus, terbentuk
sebuah nilai-nilai baru yang cenderung mengedepankan kekerasan sebagai cara
untuk mempertahakan hidup. Ketika memasuki usia dewasa, kemungkinan mereka akan
menjdai salah satu pelaku kekerasan dan eksploitasi terhadap anak-anak jalanan
lainnya. Disamping itu anak jalanan dengan keunikan kerangka budayanya,
memiliki tindak komunikasi yang berbeda dengan anak yang normal. komunikasi
intra budaya anak jalanan dapat menjelaskan tentang proses, pola, perilaku,
gaya, dan bahasa yang digunakan mereka. aspek-aspek tersbut tampak manakala
berkomunikasi sesama teman, keluarga, petugas keamanan dan ketertiban, pengurus
rumah singgah, dan lembaga pemerintah.
Anak jalanan yang sudah terbiasa
dalam lingkungan rumah singgah dan anak jalanan yang “liar”, memiliki perilaku
yang berbeda dan komunikasi yang berbeda. Perilaku
komunikasi interpersonal sendiri berlangsung dalam situasi; memaksa,
otoritatif, konflik, mengganggu (teasing), membiarkan
(bebas), sukarela, dan rayuan. Komunikasi interpersonal melalui pesan
verbal dan nonverbal, secara spesifik disesuaikan dengan kepentingan dalam
menjalankan aktivitas di jalanan. Pesan verbal mayoritas berupa
istilah/kata; yang berhubungan dengan kekerasan/konflik, panggilan khas
(sebutan) kepada orang atau konteks jalanan, aktivitas jalanan dan pekerjaan.
Pesan nonverbal yang disampaikan berbentuk: gestural, intonasi
suara, mimik muka (facial), artifaktual, isyarat bunyi, pakaian (fashion),
panataan pakaian/asesoris (grooming) dan penampilan (manner).
Anak jalanan memaknai peran diri dalam keluarga dan masyarakat, sebagai
inidividu yang mandiri (tanggung jawab pada diri dan keluarga), otonom
(berusaha melepasakan ketergantungan), dan individu yang berusaha
memiliki relasi sosial dalam konteks di jalanan.
Konstruksi makna peran
diri itu sendiri dibangun secara kreatif dan dinamis di dalam interaksi
sosial anak dengan orang-orang dalam lingkungan jalanan. Selanjutnya, hasil
interaksi sosial anak-anak dengan orang-orang dalam lingkungannya membentuk
konstruksi makna secara subyektif dan obyektif tentang orang dewasa, aturan dan
prinsip-prinsip yang berkembang dalam konteks jalanan.
Dengan demikian, perilaku social
anak jalanan dengan masyarakat tidak baik, karena perubahan sikap, cara
komunikasi yang kasar, memaksa, brutal, tata cara bicara yang buruk, gaya
bahasa, pakaian yang tidak rapi, rambut yang di warnai membuat masyarakat tidak
senang dengan anak jalanan.
BAB IV PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Walaupun pengertian anak jalanan memiliki konotasi yang negative, namun
pada dasarnya dapat juga diartikan sebagai anak-anak yang bekerja di jalanan
yang bukan hanya sekedar bekerja di sela-sela waktu luang untuk mendapatkan
penghasilan, melainkan anak yang karena pekerjaanya maka mereka tidak
dapat tumbuh dan berkembang secara wajar baik secara jasmani, rohani dan
intelektualnya.
4.2 SARAN
Untuk menyelesaikan masalah anak jalanan, kita berharap bahwa Negara mempunyai
kewajiban untuk membebaskan mereka dari kemiskinan. kemiskinan jangan dipakai
sebagai kambing hitam, tetapi kemiskinan structural, tindakan-tindakan Negara
yang harus melindungi mereka baik itu di jalanan, melindungi mereka dari
hak-hak mereka mendapat akses pendidikan dan sebagainya.
0 komentar:
Posting Komentar