A. Latar Belakang
Sebagai prolog, deskripsi film “Alangkah Lucunya (Negeri Ini)” sudah cukup untuk memberikan rumusan masalah dalam tulisan sederhana ini di mana perdebatan tentang penting atau tidaknya pendidikan (formal) bagi masa depan menjadi salah satu alur cerita. Dalam film inspiratif tersebut, menceritakan tentang kisah kehidupan seorang Sarjana Ekonomi, lebih tepatnya Sarjana Manajemen, yang urung mendapatkan mata pencaharian sesuai bidang studinya. Alih-alih bisa duduk di belakang kursi empuk kantor dengan laptop sebagai teman kerjanya, pakaian rapi berdasi ala eksekutif muda hight class (yang selalu diimpikan kala masih berstatus mahasiswa), justru nasib membawanya pada dunia sekumpulan para “pencopet terorganisir” yang kemudian menjadi mitra dalam menerapkan teori-teori pengetahuan “manajemen” yang diperoleh dari perguruan tinggi.
Ada lagi kisah seorang Sarjana Pendidikan, yang sehari-hari waktunya dihabiskan untuk bermain “kartu” karena menjadi pengangguran akibat belum juga mendapatkan tuah dari selembar ijazah “S. Pd.” nya.
Pantas saja, jika anggapan sinis tentang tidak pentingnya pendidikan (formal) masih merebak di kalangan masyarakat. Benarkah demikian?

B. Makna Pendidikan
Sebelum mengelaborasi lebih dalam, dan memberikan hipotesa “penting atau tidaknya pendidikan bagi masa depan” ada baiknya terlebih dahulu menilik kembali definisi “pendidikan”.
Dalam Islam, ada beberapa istilah yang digunakan untuk mengartikan kata “pendidikan”. Perbedaan etimologis ini, berpangkal dari tujuan dasar “pendidikan” itu sendiri. Jika “pendidikan” dimaknai sebagai usaha memelihara, mengatur, dan mendidik, sebagaimana terdapat dalam surat al-Isra’ ayat 24, maka istilah yang lebih tepat untuk membahasakan “pendidikan” ialah tarbiyah.
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (QS. Al-Isra’:24).
Selain tarbiyah, “pendidikan” juga tercermin dari term ta’lim yang berarti transfer ilmu pengetahuan (knowledge). Secara eksplisit, Al-Qur’an telah menceritakan keunggulan manusia dibandingkan dengan mahluk yang lain (temasuk syaitan yang notabene lebih senior dan malaikat yang kualitas ketaatannya lebih konsisten). Semua itu tidak lepas dari ta’lim (pendidikan) yang dianugerahkan Allah SWT. kepada Adam As. Sang Bapak Manusia. Ta’lim pula yang mampu menjawab keraguan malaikat ketika Allah akan memandatkan kekhalifahan di bumi-Nya.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar! (QS. Al-Baqarah: 30-31).
Manfaat proses ta’lim tidak hanya berlaku bagi Nabi Adam As. melainkan universal bagi seluruh manusia yang hidup pada zaman sesudahnya. Buktinya, dalam ayat lain Al-Qur’an menjanjikan akan memberikan kemuliaan bagi manusia (lebih-lebih mahasiswa) yang mempunyai amunisi intelektual (‘ilm) mumpuni (QS. Al-Mujadalah: 11).
Apa bila “pendidikan” ditujukan untuk membentuk kesopanan, tata krama, atau etika tingkah laku, maka bisa diistilahkan sebagai ta’dib yang berakar dari kata addaba – yu’addibu.
Menurut Sayed Muhammad An-Nuquib Al-Attas, kata ta’dib adalah pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud keberadaan-Nya.
Selain Al-Qur’an, ada beberapa definisi lagi tentang pendidikan yang bisa menjadi landasan pijak bagi kita sebelum memberanikan diri memberikan penilaian tentang penting atau tidaknya pendidikan bagi masa depan individu maupun dalam konteks kebangsaan.
Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Sedangkan menurut Bapak Pendidikan Indonesia, Ki hajar Dewantara, Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Sebelum penulis mengakhiri sub bahasan ini, tidak ada salahnya jika mengajak kepada pembaca untuk tidak picik dalam mengartikan terminologi “pendidikan”. Picik yang dimaksudkan dalam penilaian (subjektif) penulis ialah ketika masih mengartikan “pendidikan” dalam makna yang sempit, parsial, dan kurang komprehensif. Yang belum bisa membedakan antara “pendidikan” dengan “lembaga pendidikan”.
Setelah kita mengetahui hakikat “pendidikan” (meskipun baru sebatas definisi teoritis), kita akan mencoba mengulas lebih jauh topik dilematis; “penting atau tidaknya pendidikan bagi masa depan”.
C. Pendidikan Bagi Masa Depan
Fungsi utama pendidikan adalah mempersiapakan peserta didik (generasi penerus) dengan kemampuan dan keahlian (skill) yang diperlukan agar memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat (lingkungan).
Pendidikan akan berfungsi dengan baik jika dibarengi dengan proses yang baik pula. Lembaga pendidikan sebagai tempat berlangsungnya proses tarbiyah dan ta’lim menjadi salah satu faktor penentu dalam mengantarkan individu-individu menuju manusia yang berkarakter sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan.
John C. Bock, dalam Education and Development: A Conflict Meaning (1992), mengidentifikasi peran pendidikan tersebut sebagai : a) memasyarakatkan ideologi dan nilai-nilai sosio-kultural bangsa, b) mempersiapkan tenaga kerja untuk memerangi kemiskinan, kebodohan, dan mendorong perubahan sosial, dan c) untuk meratakan kesempatan dan pendapatan.
Fenomena skeptisisme terhadap dunia pendidikan dewasa ini tidak lepas dari kian banyaknya orang-orang “terdidik” yang belum mampu mengimplementasikan segudang teori yang telah diperoleh dari kampus ke dalam kehidupan bermasyarakat. Ketimpangan antara out put lembaga pendidikan dengan dunia kerja semakin curam. Akibatnya, “sampah masyarakat“ berupa tuna karya (pengangguran) semakin tahun semakin bertambah. Lebih ironis lagi, mahasiswa yang secara kapasitas intelektual sudah tidak diragukan lagi, pun nyatanya masih menjadi bagian yang tak terpisahkan dari penyakit sosial tersebut.
Berdasarkan data survei tenaga kerja nasional tahun 2009 yang dikeluarkan oleh Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) mengungkapkan bahwa dari 21,2 juta masyarakat Indonesia yang masuk dalam angkatan kerja, sebanyak 4,1 juta orang atau sekitar 22,2 persen adalah pengangguran yang didominasi oleh lulusan diploma dan universitas dengan kisaran angka di atas 2 juta orang.
Mengapa dunia pendidikan belum mampu menjawab problematika tersebut? Benarkah pendidikan sudah tidak krusial lagi sebagai jembatan solusi bagi kesejahteraan masa depan sehingga layak untuk dicampakkan?
Kualitas pendidikan tidak semata diukur dari indeks prestasi akademik berupa angka-angka mati dan selembar ijazah formal, lebih penting dari itu ialah substansi penerjemahan angka-angka tersebut ke dalam aplikasi kerja. Ijazah hanyalah benda mati yang tak bisa bicara, sama juga angka-angka yang tercantum dalam hasil studi. Menyelami tahapan demi tahapan proses akademik secara serius dan konsisten, lebih bisa menjamin hasil kualitas out put mahasiswa, daripada sekedar berlindung di balik angka-angka absurd.
Memang tidak bisa dipungkiri, dalam kasuistik tertentu, masih ada lulusan perguruan tinggi yang tidak mampu memberikan kontribusi intelektualnya dalam lingkungan sosial kemasyarakatan. Namun, tidaklah adil ketika muncul stereotip (pelabelan negatif) bahwa pendidikan sudah tidak bisa berbicara banyak ketika dibenturkan kepada problem realitas, hanya berdasarkan pada beberapa kasus tersebut. Buktinya, fakta di lapangan menggambarkan bahwa sarjana yang masih bisa diandalkan kiprahnya lebih banyak jika dibandingkan dengan mereka yang menjadi “pengangguran terdidik”.
Inilah tantangan bagi dunia akademisi (terutama mahasiswa) untuk selalu meningkatkan mutu pendidikan dengan cara tidak pernah henti berinovasi, berkreasi, dan beraktivitas produktif sebagai jawaban sekaligus tepisan dari stereotip yang selama ini melekat. Sudahkah kita melakukannya?
D. Penutup
Sebagai ikhtitam dalam tulisan ini daat disimpulkan bahwa makna “pendidikan” bukan hanya sekedar ta’lim, tapi juga tarbiyah dan ta’dib. Adanya skeptisisme terhadap dunia pendidikan bukan berarti “pendidikan” sudah tidak punya implikasi apa-apa terhadap masa depan para pelakunya, melainkan hanya stereotip yang muncul dari sebagian kecil kalangan yang melihat fenomena “pengangguran terdidik” dalam sistem sosial kemasyarakatan.
Demikian sekelumit pandangan dari penulis, semoga bisa memberikan sedikit gambaran tentang penting atau tidaknya “pendidikan” bagi masa depan. Saran kritik sebagai penyempurnaan tulisan ini selalu diharapkan dan menjadi barang mahal bagi penulis, sehingga hanya bisa berucap terima kasih dan semoga dibalas oleh-Nya dengan balasan yang berlebih. Pesan akhir, tetap semangat “Tangan Terkepal dan Maju ke Muka!