Oleh : Syeikh Abdul Halim Mahmud
Perbincangan
tentang Allah cukup banyak dari berbagai dimensinya. Namun dimensi Sufi
memandang Allah lebih istemewa dan khusus, yaitu pada tinjauan Cinta
kepada Allah. Dalam dunia Sufi soal cinta kepada Allah swt, juga tiada
terhingga banyaknya.
Kajian tentang Allah sangat berbeda dengan kajian para Ahli Kalam (teologi), apalagi jika dibandingkan kajian para Filosuf.
Kaum
Sufi dalam cintanya kepada Allah mengikuti jejak cintanya Rasulullah
saw, sebagaimana orang Arab pernah mengomentari, “Sesungguhnya Muhammad
telah asyik dengan Tuhannya.” Sayangnya orang-orang kafir Arab tidak
beriman kepada Rasulullah saw. Atas cintanya kepada Allah swt.
Kaum
Sufi kemudian menggelorakan cintanya kepada Allah swt, seperti yang
diungkapkan oleh Rasbi’ah Adawiyah, Asy-Syibly, Imam Ibnu Masyisy, dan
mayoritas kaum sufi lainnya, hingga disebutkan, “Tasawuf adalah cinta.
Cinta pada Allah dan RasulNya, serta patuh pada Allah dan RasulNya.”
Diantara
para pengkaji Allah ada yang meninjau dari segi WujudNya, sedangkan
kaum Sufi sama sekali tidak meninjau WujudNya, baik dengan cara berdalil
maupun bukti. Sehingga Ibnu Athaillah as-Sakandary mengungkapkan
perspektif akademi Tasawuf dalam kitabnya, Lathaiful Minan, tentang
Allah swt:
“Apabila
makhluk ciptaan Allah swt, tidak memerlukan bukti untuk menjelaskan dan
menegakkan dalilnya, maka – apalagi – Sang Pencipta sudah tidak perlu
bukti untuk AdaNya.”
Pemikiran ini mengembalikan perspektif yang benar berhubungan dengan pandangan para teolog tentang , “Penetapan Wujud Allah.”
Pandangan
Ibnu Athaillah merupakan sisi yang dikembangakan para Sufi, dan
mayoritas pengikut Imam Abul Hasan asy-Syadzily, yang mengatakan, “Bagaimana
Allah diketahui melalui orang yang ‘arif (mengenal Allah) sedangkan
segala pengetahuan itu diketahui melalui Allah? Atau bagaimana Allah
diketahui dan dikenal melalui sesuatu sedangkan Wujud Allah mendahului
segala sesuatu?” (Lihat Lathaiful Minan)
Beliau juga menegaskan:
“Nah,
seharusnya, kita memandang Allah swt dengan mata iman, sehingga kita
tidak lagi perlu bukti dan dalil, karena kita tidak pernah melihat
siapa pun dari makhluk, apakah masih ada Wujud selain Allah swt Sang
Diraja? Kalau toh ada, maka seperti ruang hampa di udara, jika anda
teliti anda tidak temukan apa-apa”.
Ibnu Athaillah juga mengikuti jejak beliau, yang kemudian menegaskan:
“Diantara
hal yang sangat mengherankan bila semesta alam mini dianggap bisa
menghubungan dengan Allah – menurutku – apakah masih ada wujud lain
selain Allah? Ataukah masih ada yang lebih jelas – untuk menjelaskan –
sehingga alam ini menjadi penjelas bagi Allah?”
Bagaimana
alam semesta bisa menjelaskan tentang Allah? Sedangkan Allahlah yang
memunculkan alam semesta ini, atau bagaimana alam mini bisa mengenalkan
Allah sedangkan alam mini dikenalkan oleh Allah?”
Inilah
pandangan yang dikenalkan oleh Syeikh Abul Hasan asy-Syadzili kepada
para muridnya dan tersebar di kalangan mereka yang kelak dikutip oleh
Syeikh Ibnu Athaillah as-Sakandary dalam kitab-kitabnya. Diantaranya
adalah:
“Bagi
yang masih membutuhkan dalil dan bukti, itu hanya bagi kalangan publik
umum yang selalu ingin memandang dengan nyata, karena mereka ini
menyucikan Allah swt melalui manifestasi tampilanNya yang dinilai butuh
bukti. Namun bagaimana membutuhkan bukti pada Dzat yang menegakkan bukti
itu sendiri? Bagaimana bisa dikenal melalui bukti, sedangkan Dialah
yang mengenalkan bukti itu?”
Syeikh
Abul Hasan asy-Syadzili dan para pengikutnya telah mengembalikan Islam
yang benar sehubungan dengan Wujud Allah. Bahwa WujudNya itu lebih jelas
dan lebih gamblang sehingga sama sekali tidak butuh bukti lagi. Bahwa
Kemahasucian Allah swt itu, tidak bisa dikhayalkan WujudNya oleh orang
yag beriman kepadaNya. Sedangkan Kemaha AgunganNya – yang merupakan
pandangan keimanan orang beriman– sama sekali jauh dari perspektif
sedemikian rupa dengan mengimajinasikan dan mengkhayalkan Wujud
tersebut, sehingga malah menimbulkan penyimpangan.
Yang
jelas segala upaya untuk memproyeksikan Wujud Allah, malah akan
menimbulkan penyimpangan dari manhaj Islam yang benar. Apa yang
diarahkan dalam metode pendekatan Syeikh Abul Hasan, adalah cara pandang
Qur’any yang murni: Yaitu bahwa Al-Qur’anul Karim, dan semua Rasul –
sholawat salam bagi mereka – telah memurnikan pandangan dari segala
upaya untuk membuktikan wujudNya, dan mereka menyucikan dari pandangan
bahwa Wujud allah itu butuh bukti dari sejumlah argument dan bukti
lainnya. Tidak sama sekali!
Wacana
adsy Syadzili ini telah diikuti dan menjadi panutan. Namun dewasa ini
sempat dianggap aneh oleh kalangan yang pandangannya tersekat oleh
ketololan, yang mengatakan bahwa upaya membuktikan wujud Allah itu
adalab bid’ah yag menebar, hingga merasuk dalam wilayah beragama,
sehingga banyak yang bertanya:
“Apakah pandangan Syeikh Abul Hasan ini benar?”
Dari
segi penjelasan pemikiran abul Hasan asy Syadzily, memang perlu
dijelaskan, karena topik tersebut telah membawa pertanyaan lebih jauh.
Kami ingin menjelaskan pandangan Syeikh abul Hasan, yang bisaanya oleh
khalayak seringkali dianggap kontroversial hanya karena keawaman
mereka. Sehingga pandangan mereka tidak sampai pada titik kebenaran
yang jelas berakhir dengan pemahaman yang menyimpang pula.
Sejak
mula, saat Rasulullah saw, berdakwah secara terang-terangan, – setelah
melewati tiga tahun dalam merahasiakan missinya – Rasulullah saw, tidak
pernah memulai dakwahnya dengan menetapkan Wujud Allah. Namun
Rasulullah saw, memulai bukti atas pembenaran pada Allah, dan menantang
pada Bangsa Arab untuk membenarkannya. Sebelumnya, Rasulullah saw,
berada dalam Gua , kemudian wahyu turun. Malaikat atau wahyu yang
dibawanya juga sejak mula tidak menetapkan Wujud Allah. Tetapi dimulai
dengan perintah kepada Rasul saw, untuk membaca degan Nama Tuhannya:
“Bacalah dengan Nama Tuhanmu Yang Menciptakan”. (Al-‘Alaq 1)
Pada
kurun awal yang telah lewat itu pun, tak ada perbincangan mengenai
penetapan Wujud Allah, bahkan melewati kurun kedua Islam, tak ada
perbincangan mengenai Wujud Allah, tidak dijadikan topik kajian.
Karena
Wujud Allah adalah masalah yang naluriyah, sama sekali tidak layak
untuk dikaji oleh kaum beriman, baik dalam metode penafian maupun
penetapan. Wujud Alah adalah sesuatu yang sudah Fitrah Naluriyah dalam
diri orang beriman.
Manakala ada orang beriman mencoba membahas Wujud Allah berarti ada “sesuatu” dalam imannya yang mulai merusak.
Al-Qura’an
malah menjelaskan mengenai Allah sebagai sebagai Wujud yang sudah tidak
perlu dijelaskan, bahkan terhadap kaum yang menyimpangkan akidahnya
sekali pun.
“Bila kamu bertanya kepada mereka, siapa yang menciptakan langit dan bumi, pastilah mereka mengatakan: Allah.” (Luqman : 25)
Mereka
pun tetap mengatakan: Sang Pencipta itu Allah, walaupun mereka itu
musyrik, dan menyimpang dari kebenaran. Agama tidak pernah diturnkan
untuk menetapkan Wujud Allah, tetapi agama diturunkan untuk membenarkan
kesalahan akidah tentang Allah, cara bertauhid yang benar.
Sedangkan
ayat yang begitu banyak tentang Allah, yang diduga oleh berbagai
kalangan untuk menetapkan Wujud Allah, sungguh tidak demikian! Ayat-ayat
tersebut semuanya menjelaskan Keagungan Allah, Kebesaran, dan
PerlindunganNya terhadap semesta ini, dimana semua gerak gerik kehidupan
alam hingga sekecil-kecilnya tidak lepas dari Kekuasaan dan Kehendak
Allah. Semua dalam rangka mengarahkan agar ummat Islam dalam hidup ini
berorientasi kepada Allah swt. sehingga menjadi Muslim yang paripurna,
dimana ekspressi maupun arahnya tidak lepas dari Nama Allah swt,
menempuh Jalan Allah swt.
Abad
pertama dan kedua berlalu cukup signifikan dan murni dalam fitrah,
tetapi setelah itu muncul transformasi dari filsafat Yunani di bidang
teologi, yang sesungguhnya filsafat ini sangat paganis dan singkretis.
Karena filsafat ini murni tumbuh dari akal. Bukan bersumber pada wahyu,
dalam mengungkapkan soal metafisika dan akidah.
Pemikiran
Yunanian (Helenisme) adalah paganis (bersifat berhala) sama sekali
tidak punya pijakan kebenaran di dunia ini, karena akidah itu sangat
spesifik dari Allah Ta’ala, yang dijelaskan melalui para RasulNya.
Setiap
intervensi manusia terhadap soal akidah itu, pasti tumbuhnya adalah
intervensi yag menyimpang, karena bukan wilayah manusiawi. Akidah adalah
wilayah suci yang sangat terhormat, yang tidak layak untuk dimasuki
manusia kecuali dengan kepatuhan, khusyu’, tunduk, pasrah, karena semua
itu datang dari Wahyu Ilahi.
Sedangkan
pandangan filsafat Yunani soal akidah sifatnya paganisme sinkretisme,
apalagi ketika menetapkan Wujudnya Allah. Apa yang diungkapkan tentang
Wujud Allah tak lebih dari berhala, yang kelak bisa menimbulkan
pemberhalaan pada akal manusia.
Sehingga
ketika membuktikan wujud Allah secara rasional, nilai dan gunanya tidak
ada sama sekali, sebab nilai pengingkaran dan penetapan atas wujud
Allah sama, dimana akal bisa menetapkan dan sekaligus juga bisa
mengingkari. Jadi pemikiran intelektual Barat maupun Timur, sama sekali
tidak bisa menetapkan dan memproyeksikan Wujud allah.
Kita
tidak ingin akidah kita didasarkan produk pemikiran manusia, walau pun
pemikiran tersebut rasional dan akademik. Siapa pun tidak bisa membuat
timbangan pandangan metafisika dengan dasar rasio manusia. Baik
rasionalisme tadi berselaras dengan akidah maupun tidak. Karena kita
mengikuti agama Allah dan hanya kepada Allah saja sumber segalanya,
hanya Allahlah sebagai Sang Pemberi Hidayah, Allahlah yag Memberi
Petunjuk.
“Siapa yang berpegang teguh padaAllah maka benar-benar diberi hidayah Jalan Lurus.” (Ali Imran : 101)
Siapa
yang berpegang teguh pada Allah maka Allah mencukupinya. Segala
petunjuk yang bukan petunjuk Allah dalam alam keagamaan, pastilah
paganis dan sesat. Sedangkan filsafat Yunani adalah filsafat paganisme
manusia, dan produknya pasti pemberhalaan demi pemberhalaan akal manusia
(dengan mengacu logika), yang tidak meraih kebenaran mutlak. Dan
Hellenisme inilah yang memunculkan berhala-berhala pemikiran setiap
zaman.
Bangsa
Yunani, dalam sebagian kurunnya tidak terdapat agama wahyu yang turun
dari Langit yang dijadikan petunjuk, sehingga era tersebut persis
seperti era Jahiliyah di jazirah Arab, yang mengembalikan semuanya pada
akal dan berhala-berhalanya, yang kadang mereka kokohkan dan kadang
mereka ingkari.
Lalu
datanglah agama Nasrani yang mengoreksi atas kesalahan ummat Yunani
itu, sehingga paganisme mulai luntur, sehingga Wujud allah ditepiskan
dari tema pembahasan. Namun akhirnya terjadi percampuradukan yang kotor
di era berikutnya, sampai pada era dimana Allah hanyalah dogma gereja
belaka, sehingga pemikiran keagamaan yang suci malah jauh dari Allah,
sampai berkembang menjadi pemikiran paganisme rasional. Islam dating
membersihkan akidah yang demikian, mencyucikan iman manusia, dimana
manusia tidak bisa intervensi terhadap ajaran Allah swt dalam soal
akidah dan Risalahnya.
Islam
tidak lain adalah kepatuhan dan kepasrahan total kepada Allah swt:
Bersinambung dengan Allah swt sesuai dengan apa yang dirihoiNya. Apakah
masih ada peluang lain untuk mencari kerelaan selain Allah? Apakah jika
masih bergelayut dengan selain Allah dalam akidah ini bisa disebut
mu’min?
Bersinambung
dengan Allah swt melalui apa yang diwajibkan oleh Asllah swt adalah
Islam. Yaitu agama, dan tak ada agama lain lagi.
“Sesungguhnya agama menurut Allah adalah Islam” (Ali Imran 19)
“Dan siapa yang mencari agama lain selain Islam tidak akan diterima…” (Ali Imran 85).
Sedikit
maupun banyak, orang yang yang tidak pasrah total kepada Allah swt,
akan mudah ternodai melalui penyimpangannya terhadap Islam.
Islam
memiliki pandangan dan prinsip dasar; Diantaranya adalah Wujud Allah
itu tidak dijadikan topik pembahasan. Siapa yang menjadikan tema Wujud
Allah sebagai tema kajian berarti ia akan berubah orientasinya dari
menuju Allah swt, menuju orientasi manusiawi yang nantinya jauh dari
agama.
Periode
Islam sangat murni sedemikian rupa, yang kahirnya sempat ternoda oleh
pandangan filsafat Yunani yang mempengaruhi atmosfir Islam di era
Al-Ma’mun, yang kelak lebih menerima pandangan Mu’tazilah. Sehingga
pengarhnya luar bisaa terhadap ummat, sehingga logika agama dan fitrah
yang benar tidak menjadi pelindung ummat ketika itu, lebih banyak
mengalir logika Aristoteles. Lambat laun paganisme rasional berpengaruh
kuat mengalahkan agama.
Rasionalisme
paganis – semoga Allah Ta’ala melindungi – tidak bisa mengotori akidah
Islam yang agung – Iman kepada Allah dan RasulNya, dan hari akhir - .
Rasionalisme hanya bisa ditoleransi dalam bidang metode, paradigma dan
system kajian. Bukan merasuk pada pandangan teologis. Karena sangat,
membahayakan akidah dan melemahkan iman.
Di
sinilah anda harus membedakan metode rasional untuk merubah wahyu
mengikuti selera rasional, dengan metode rasional untuk menjelaskan dan
menyimpulkan ajaran Wahyu untuk kepentingan tertentu. Ini berarti juga,
anda harus membedakan antara memaksa wahyu agar berselaras dengan akal
rasio kita, dengan menerjemahkan wahyu agar difahami oleh rasio kita.
Banyak orang yang tidak bisa membedakan hal ini.
Sehingga
banyak pihak yang mentakwilkan wahyu yang dipaksakan agar mengikuti
logika rasionalnya, bukannya wahyu yang menjadi penuntun akalnya. Pihak
yang mekasa wakyu mengikuti akal rasionya adalah paradigma kaum filsafat
Helenis, dan yang menjadikan wahyu sebagai penuntun akal adalah kaum
mu’min sejati.
Pandangan
paganis rasional memaksa dirinya untuk menetapkan metode memproyeksi
Wujud Allah, yang akhirnya mengingkari pandangan keagamaan, malah
berakhir dengan mengingkari Wujud Allah Yang Paripurna itu sendiri.
Ketika
tema mengenai Wujud Allah menjadi sentra bahasan, pada saat yang sama
seseorang kanan masuk dalam proses pengingkaran agama Allah dan
mengkafiri Allah swt.
Kesimpulan
kedua, adalah pelemahan iman, karena ketika anda masuk dalam bahasan
Wujud Ilahi, berarti anda tengah masuk dalam lingkaran skeptisisme
(keraguan), karena memang anda sedang membahas Wujud itu sendiri
disebabkan keraguan atas wujud.
Lambat
laun keimanan kita kepada Allah swt terkikis, sampai tanpa iman.
Inilah yang menggerogoti ummat Islam, yang boleh disebut sampai pada
frekwensi tanpa iman. Semua itu muncul ketika skeptisisme metodologis
memasuki dasar-dasar agama. Apakah ada kesimpulan semakin membuat anda
yaqin kepada Allah swt. Setelah mengkaji Wujud Allah swt.?
Kita
memhon ampunan kepada Allah dan bertobat kepadaNya. Dan kita kembali
bahwa agama itu sendiri senantiasa dijaga oleh Allah swt.:
“Sesungguhnya Kami turunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami sangat menjaganya.” (Al-Hijr 9)
Sebagian akum ‘Arifin ketika ditanya tentang dalil tentang Allah, maka ia menjawab:
“Allah”.
“Lalu akal gunanya untuk apa?” ditanya lagi.
“Akal itu lemah, dan tidak bisa menunjukkan sesuatu kecuali lemah pula.” Jawabnya.
Imam agung, yang sangat terkenal sebagai pemadu dunia syariat dan hakikat, Ibnu Athaillah as-Sakanday menegaskan:
“Oh
Tuhanku, bagaimana orang membuktikan diriMu melalui sesuatu yang
wujudnya sangat butuh kepadaMu? Apakah ada yang lebih jelas dibanding
diriMu? Sehingga sesuatu itu bisa menjelaskan tentangMu? Kapankah Engkau
hilang, sehingga harus ada sesuatu yang menjadi petunjuk kepadaMu?
Kapankah Engkau pernah menjauh. Sehingga makhluk ini menjadi jembatan
yang menghubungkan padaMu?”
Beliau juga menegaskan:
“Bagaimana bisa digambarkan bahwa sesuatu itu menghijab Allah, sedangkan Allah itulah yang memunculkan segala sesuatu.”
“Bagaimana bisa digambarkan bahwa seuatu itu menghijab Allah, sedangkan Allah itu Tampak menyertai segala sesuatu.”
“Bagaimana bisa digambarkan sesuatu itu menghijab Allah, sedangkan Allah itu Tampak di dalam segala sesuatu.”
“Bagaimana bisa digambarkan sesuatu itu menghijab Allah, sedangkan Allah Tampak bagi segala sesuatu.”
“Bagaimana bisa digambarkan sesuatu itu menghijab Allah, sedangkan Allah itu Tampak sebelum segala sesuatu ini ada.”
“Bagaimana bisa digambarkan seuatu itu menghijab Allah, sedangkan Allah itu Tampak dari berbagai sesuatu.”
“Bagaimana
bisa digambarkan sesuatu itu menghijab Allah, sedangkan Allah adalah
Satu-satunya, yang tidak satu pun menyertai-Nya.”
“Bagaimana bisa digambarkan, sesuatu itu menghijab Allah, sedangan Allah lebih dekat padamu dibanding segalanya.”
“Bagaimana bisa digambarkan sesuatu itu menghijab Allah, sedangkan tanpa adanya Allah, segala sesuatu tidak pernah ada.”
“Betapa
mengherankan, bagaimana Yang Maha Ada, tampak dalam ketiadaan. Atau
bagaimana seuatu yang baru berada beserta Dzat yang memiliki sifat
Qidam?”
Juga beliau menegaskan:
“Jauh
sekali: Antara orang yang mencari bukti adanya Allah melalui selain
Allah, orang yang mencari bukti adanya Allah melalui Allah. Orang yang
mencari bukti melalui selain Allah tandanya ia belum sampai pada Allah,
dan yang membuktikan Allah melalui Allah adalah cara membuktikan dari
Wujud asalnya.”
Betapa
indah dan elok orientasi yang dikumandangkan Syeikh Abul Hasan
asy-Syadzily yang diikuti oleh para muridnya, semoga Allah memberikan
balasan kepadanya dan seluruh pandangannya yang benar ini, dengan
balasan sebaik-baiknya. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar