Dari manakah asal-usul pembaruan hukum Islam? Benarkah asal-usul pembaruan atau reformasi
hukum Islam hanya muncul di kalangan umat Islam setelah
bersentuhan dengan Barat? Sebaliknya, asal-usul
dan semangat pembaharuan hukum Islam
itu tidak ada yang inherent dalam batang tubuh hukum Islam sendiri?
Benarkah demikian? Tulisan ini bermaksud menepis anggapan miring
sementara orientalis itu.
Para sejarawan umumnya membagi sejarah perkembangan hukum Islam ke dalam tiga periode, pembentukan/pertumbuhan, kejayaan dan kemunduran [lihat Coulson]. Periode pembentukan dimulai sendiri oleh Nabi dan dilanjutkan oleh beberapa generasi sahabat-sahabatnya. Masa ini dianggap sebagai masa yang paling kreatif dan adaptif terhadap lingkungan disekelilingnya. Di sinilah pula hukum Islam, menurut beberapa sarjana, telah menyerap –untuk tidak mengatakan terpengaruh oleh-- berbagai sistem hukum maupun praktek-praktek asing [H. Liebesny]. Periode kejayaan ditandai dengan munculnya para imam madzhab pada sekitar seratus tahun ke-4 Hijriyah. Di masa inilah disiplin hukum Islam menempati posisi tertinggi baik di tengah dunia akademis, politik maupun sosial. Masa emas hukum Islam ini kemudian berakhir menjadi masa kemunduran ditandai dengan munculnya apa yang dikenal sebagai “tertutupnya pintu ijtihad, the closing gate of ijtihad”.
Terlepas dari persoalan politik yang menyertai debat “tertutupnya pintu ijtihad”, sejak saat itulah tersebar anggapan bahwa hukum Islam telah lengkap dan mapan sehingga umat Islam tidak lagi perlu berijtihad. Mengahadapi berbagai persoalan baru, umat Islam cukup merujuk pada kitab-kitab fiqh. Menurut sementara sarjana Barat, masa ini tidak berhenti sampai sekitar abad ke-19 saat mana umat Islam bertemu peradaban Barat secara semakin intensive. [Schacht, Anderson, Liebesny] Dengan kata lain, pembaharuan hukum Islam hanya dipicu oleh faktor eksternal Barat modern, dan karena itu hanya terjadi di abad modern. Tidak ada faktor internal yang memicunya dan pembaharuan tidak pernah dikenal dalam sejarah hukum Islam pra-modern, karena memang hukum Islam, menurut mereka, statis dan immune terhadap berbagai perubahan.
Harus diakui memang bahwa menggejalanya taqlid dan keadaan jumud itu telah membawa umat Islam kepada kemandegan pemikiran. Sementara itu, pada saat yang sama kehidupan masyarakat terus berubah dan dinamis. An-nusus mahdudah wal ‘awaidu mutajaddidah (Nash-nash itu terbatas sedangkan peristiwa-peristiwa hukum itu senantiasa baru), sehingga memerlukan pembaharuan-pembaharuan pemikiran. Sebab itulah maka kemandekan berpikir ini pada gilirannya mengantarkan umat Islam kepada keterbelakangan dan kesulitan-kesulitan sosial. Hal-hal inipula-lah yang pada akhirnya secara umum melatar-belakangi upaya-upaya pembaharuan dalam hukum Islam.
Tetapi harus dicatat bahwa kemandegkan berpikir disatu pihak dan respon intelektual para ulama hukum Islam di pihak lain telah pernah berlangsung jauh sebelum sejarah dan umat Islam bertemu dengan Barat sebagai entitas budaya yang maju. Jauh sebelum mereka mengenal Barat, ulama dan intelektual Islam telah menyuarakan ide-ide progressif dalam hukum Islam atau apa yang sekarang ini dapat disebut sebagai pembaruan pemikiran.
Imam Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul Jadid-nya, juga Ibnu Taimiyah yang pemikirannya mengilhami hampir semua gerakan pembaharuan berikutnya. Juga ada Imam at-Tufi yang dikenal berani karena konsep maslahatnya. Demikian juga Imam al-Ghazali dan Ash-Shatibi (1400-an) dengan teori maqashid shari’ah-nya, Syekh Waliyullah Ad-dihlawi (1800-an), Ibn ‘Abidin (awal 1900-an) dll, mereka semua telah memperkenalkan metode maslahah yang diambil dari realitas sosial empirik sebagai dasar normatif penyusunan hukum Islam .
Pemikiran-pemikiran mereka dalam banyak hal secara jelas merupakan pembaharuan terhadap konspep-konsep atau pemikiran fiqh maupun ushul fiqh sebelumnya. Ide-ide brilliant dan progressif ulama-ulama muslim tersebut di atas dengan demikian menegaskan sekali lagi bahwa pembaharuan adalah inherent dalam dan telah dikenal dalam sejarah hukum Islam pra-modern. Pada saat yang sama, fakta tersebut menolak anggapan sementara sarjana Barat yang hanya menekankan peradaban Barat modern sebagai tempat dan waktu serta faktor pemicu munculnya gagasan pembaharuan dalam hukum Islam.
Hanya saja, semangat pembaharun inhern tersebut memperoleh momentumnya kembali pada masa modern ketika Islam berhadapan langsung dengan Barat. Sayangnya, pertemuan kedua peradaban besar tersebut tidak berada pada posisi dan tingkat yang setara; Islam dalam pada posisi dan tingkat kemundurannya, sebaliknya Barat pada posisi dan tingkat kemajuannya. Di sinilah bisa dipahami adanya power and knowledge relationship (hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan) dalam pembaharuan hukum Islam di dunia Muslim. Negara-negara Barat modern tidak hanya melakukan political pressure/tekanan politik, bahkan melalui kolonialisasi mereka memberlakukan hukum-hukum sekulernya secara paksa di negeri-negeri Muslim.
Di sinilah –menurut penulis-- harus diakui bahwa pembaharuan dalam hukum Islam itu baru terjadi secara “kontras” (untuk tidak mengatakan meniru) dan besar-besaran setelah terjadinya kontak langsung antara umat Islam dengan Barat modern. Seperti akan dibahas di bawah nanti, umat Islam di hampir seluruh dunia melakukan pembaharuan-pembaharuan (atau lebih tepat disebut modernisasi hukum) dengan mengambil bentuk hukum a la Barat modern, seperti undang-undang yang disponsori oleh politik pemerintah, bukan oleh ilmuwan; tidak seperti fiqh yang disusun oleh fuqaha-- dan terdiri atas ayat, pasal, batang tubuh dan seterusnya yang secara keseluruhan berbeda dari fiqh sebagai bentuk tradisional hukum Islam. Pembaharuan hukum Islam juga kemudian memasuki materi hukum /substantive law-nya, khususnya berkaitan dengan peningkatan peran dan status perempuan dan anak.
Atas dasar kebutuhan untuk menjawab kemajuan dan dinamika sosial itulah pembaharuan hukum Islam dilakukan kembali di dunia modern. Namun demikian, pembaharuan tersebut kini tidak saja di dorong oleh semangat internal yang ada di dalam sistem hukum Islam itu sendiri, tetapi juga dilakukan dengan mengambil bentuk-bentuk dan beberapa cara berpikir Barat.
Para sejarawan umumnya membagi sejarah perkembangan hukum Islam ke dalam tiga periode, pembentukan/pertumbuhan, kejayaan dan kemunduran [lihat Coulson]. Periode pembentukan dimulai sendiri oleh Nabi dan dilanjutkan oleh beberapa generasi sahabat-sahabatnya. Masa ini dianggap sebagai masa yang paling kreatif dan adaptif terhadap lingkungan disekelilingnya. Di sinilah pula hukum Islam, menurut beberapa sarjana, telah menyerap –untuk tidak mengatakan terpengaruh oleh-- berbagai sistem hukum maupun praktek-praktek asing [H. Liebesny]. Periode kejayaan ditandai dengan munculnya para imam madzhab pada sekitar seratus tahun ke-4 Hijriyah. Di masa inilah disiplin hukum Islam menempati posisi tertinggi baik di tengah dunia akademis, politik maupun sosial. Masa emas hukum Islam ini kemudian berakhir menjadi masa kemunduran ditandai dengan munculnya apa yang dikenal sebagai “tertutupnya pintu ijtihad, the closing gate of ijtihad”.
Terlepas dari persoalan politik yang menyertai debat “tertutupnya pintu ijtihad”, sejak saat itulah tersebar anggapan bahwa hukum Islam telah lengkap dan mapan sehingga umat Islam tidak lagi perlu berijtihad. Mengahadapi berbagai persoalan baru, umat Islam cukup merujuk pada kitab-kitab fiqh. Menurut sementara sarjana Barat, masa ini tidak berhenti sampai sekitar abad ke-19 saat mana umat Islam bertemu peradaban Barat secara semakin intensive. [Schacht, Anderson, Liebesny] Dengan kata lain, pembaharuan hukum Islam hanya dipicu oleh faktor eksternal Barat modern, dan karena itu hanya terjadi di abad modern. Tidak ada faktor internal yang memicunya dan pembaharuan tidak pernah dikenal dalam sejarah hukum Islam pra-modern, karena memang hukum Islam, menurut mereka, statis dan immune terhadap berbagai perubahan.
Harus diakui memang bahwa menggejalanya taqlid dan keadaan jumud itu telah membawa umat Islam kepada kemandegan pemikiran. Sementara itu, pada saat yang sama kehidupan masyarakat terus berubah dan dinamis. An-nusus mahdudah wal ‘awaidu mutajaddidah (Nash-nash itu terbatas sedangkan peristiwa-peristiwa hukum itu senantiasa baru), sehingga memerlukan pembaharuan-pembaharuan pemikiran. Sebab itulah maka kemandekan berpikir ini pada gilirannya mengantarkan umat Islam kepada keterbelakangan dan kesulitan-kesulitan sosial. Hal-hal inipula-lah yang pada akhirnya secara umum melatar-belakangi upaya-upaya pembaharuan dalam hukum Islam.
Tetapi harus dicatat bahwa kemandegkan berpikir disatu pihak dan respon intelektual para ulama hukum Islam di pihak lain telah pernah berlangsung jauh sebelum sejarah dan umat Islam bertemu dengan Barat sebagai entitas budaya yang maju. Jauh sebelum mereka mengenal Barat, ulama dan intelektual Islam telah menyuarakan ide-ide progressif dalam hukum Islam atau apa yang sekarang ini dapat disebut sebagai pembaruan pemikiran.
Imam Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul Jadid-nya, juga Ibnu Taimiyah yang pemikirannya mengilhami hampir semua gerakan pembaharuan berikutnya. Juga ada Imam at-Tufi yang dikenal berani karena konsep maslahatnya. Demikian juga Imam al-Ghazali dan Ash-Shatibi (1400-an) dengan teori maqashid shari’ah-nya, Syekh Waliyullah Ad-dihlawi (1800-an), Ibn ‘Abidin (awal 1900-an) dll, mereka semua telah memperkenalkan metode maslahah yang diambil dari realitas sosial empirik sebagai dasar normatif penyusunan hukum Islam .
Pemikiran-pemikiran mereka dalam banyak hal secara jelas merupakan pembaharuan terhadap konspep-konsep atau pemikiran fiqh maupun ushul fiqh sebelumnya. Ide-ide brilliant dan progressif ulama-ulama muslim tersebut di atas dengan demikian menegaskan sekali lagi bahwa pembaharuan adalah inherent dalam dan telah dikenal dalam sejarah hukum Islam pra-modern. Pada saat yang sama, fakta tersebut menolak anggapan sementara sarjana Barat yang hanya menekankan peradaban Barat modern sebagai tempat dan waktu serta faktor pemicu munculnya gagasan pembaharuan dalam hukum Islam.
Hanya saja, semangat pembaharun inhern tersebut memperoleh momentumnya kembali pada masa modern ketika Islam berhadapan langsung dengan Barat. Sayangnya, pertemuan kedua peradaban besar tersebut tidak berada pada posisi dan tingkat yang setara; Islam dalam pada posisi dan tingkat kemundurannya, sebaliknya Barat pada posisi dan tingkat kemajuannya. Di sinilah bisa dipahami adanya power and knowledge relationship (hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan) dalam pembaharuan hukum Islam di dunia Muslim. Negara-negara Barat modern tidak hanya melakukan political pressure/tekanan politik, bahkan melalui kolonialisasi mereka memberlakukan hukum-hukum sekulernya secara paksa di negeri-negeri Muslim.
Di sinilah –menurut penulis-- harus diakui bahwa pembaharuan dalam hukum Islam itu baru terjadi secara “kontras” (untuk tidak mengatakan meniru) dan besar-besaran setelah terjadinya kontak langsung antara umat Islam dengan Barat modern. Seperti akan dibahas di bawah nanti, umat Islam di hampir seluruh dunia melakukan pembaharuan-pembaharuan (atau lebih tepat disebut modernisasi hukum) dengan mengambil bentuk hukum a la Barat modern, seperti undang-undang yang disponsori oleh politik pemerintah, bukan oleh ilmuwan; tidak seperti fiqh yang disusun oleh fuqaha-- dan terdiri atas ayat, pasal, batang tubuh dan seterusnya yang secara keseluruhan berbeda dari fiqh sebagai bentuk tradisional hukum Islam. Pembaharuan hukum Islam juga kemudian memasuki materi hukum /substantive law-nya, khususnya berkaitan dengan peningkatan peran dan status perempuan dan anak.
Atas dasar kebutuhan untuk menjawab kemajuan dan dinamika sosial itulah pembaharuan hukum Islam dilakukan kembali di dunia modern. Namun demikian, pembaharuan tersebut kini tidak saja di dorong oleh semangat internal yang ada di dalam sistem hukum Islam itu sendiri, tetapi juga dilakukan dengan mengambil bentuk-bentuk dan beberapa cara berpikir Barat.
0 komentar:
Posting Komentar