Dikayuhnya sepeda kumbang warna biru itu dengan kencang. Semangatnya tak kalah dengan semangat para pejuang tempo dulu. “Aku harus sampai sebelum pukul 3 sore” Pritha menggumam sendiri bagai tawon yang sarangnya sedang diusik manusia iseng. Ia menyelip di antara sepeda motor yang lalu lalang dan mengeles gesit dari himpitan bis kota. Kaos putih yang dipakainya berubah sudah warnanya menjadi coklat karena keringat. Terus saja ia mengayuh sepeda kecil yang dibeli ibunya saat ia merengek minta sepeda yang harganya mahal itu. Sampai di depan sebuah toko obat ia menghempaskan begitu saja sepedanya. Tukang parkir yang melihat aksi gadis cilik itu segera menghampiri “Hei bocah kalau parkir yang bener dong!”.
            Pritha tak peduli dengan saran tukang parkir itu hingga akhirnya bapak tua yang mengenakan rompi kuning dengan peluit di tangannya itu memilih membenarkan letak sepeda biru itu meski dari wajahnya nampak bahwa ia sedikit kesal. Di dalam toko obat Pritha segera mengeluarkan kertas kecil dari dalam saku celananya. Resep dari dokter yang tulisannya susah dibaca oleh orang awam itu disodorkan pada apoteker. “Cepet ya mbak” Sambil mengelap peluhnya Pritha terlihat mondar-mandir mengitari etalase yang penuh obat-obatan tersebut.

            Sementara itu di Rumah Sakit bu Tanti terkulai lemas pada sebuah ranjang yang di sampingnya terdapat tiang penyangga infus. Meja yang terletak di sebelah kepalanya hanya berisi obat pemberian dokter. “Pritha…Prith” Suaranya lirih memanggil putri semata wayangnya. Bu Tanti masuk Rumah Sakit itu gara-gara terserang penyakit Demam Berdarah. Rumah mereka yang ada di bantaran kali memang tempat ideal bagi Nyamuk pembawa penyakit itu. Sebelum memilih mengobatkan dirinya ke RS itu bu Pritha telah mencoba obat yang dibelinya di pasar tradisional sekitar tempat tinggalnya. Setelah tak kunjung sembuh juga akhirnya RS ini menjadi rujukan pegawai Puskesmas didesanya.
            Bermodal uang sebanyak Rp.300.000 bu Tanti memberanikan diri pergi ke Rumah Sakit. Tak ada satupun warga yang mengantarnya. Hanya ia dan anak perempuannya saja. Mereka berdua mencegat angkutan kota arah Rumah Sakit. Bayangkan dalam keadaan sakit bu Tanti harus sabar saat angkutan kota yang mereka tumpangi berulang kali berhenti menaikkan atau menurunkan penumpang. Tapi itulah kemampuan mereka, untuk menyewa mobil rental pasi tak mampu. Sebenarnya bu Tanti takut jika uang yang dimilikinya tak cukup untuk membayar biaya administrasi selama di RS itu tapi ia juga tak kuat lagi menahan rasa sakit yang sudah dirasakannya semenjak 2 hari lalu. Bercak merah di tubuhnya terlihat kentara, wajahnya juga pucat.
            Di toko obat Pritha masih menunggu racikan obat yang tengah dipilihkan apoteker. Ia merasa begitu lama menunggu. Saat teringat keadaan ibunya Pritha meneteskan air mata. Ada kesedihan dimukanya yang mungil “Ibu harus sembuh…”. “Ibu Tanti” Mendengar nama ibunya disebut Pritha yang sedari tadi melamun terjingkat dari kursi tunggu. “Berapa mbak” Tanya Pritha ingin tahu berapa rupiah yang harus dibayarnya untuk obat itu. “Sebentar ya dik mbak total dulu” Kalkulator yang ada diatas meja berbunyi keypadnya saat apoteker tadi menekan tombol-tombol angkanya. “Ini dik jumlah totalnya” 5 digit angka terlihat dilayar kalkulator yang disorongkan kearah Pritha. “Apa…300 ribu!?” kaget juga Pritha melihat nominal sebanyak itu, berarti uang pemberian ibunya tadi akan habis untuk membayar tebusan resep. Setelah memberikan uang pada apoteker tadi Pritha mengayuh sepedanya kembali menuju RS dimana ibunya kini sedang dirawat. Kali ini ayunan sepedanya terlihat tak sesemangat  waktu berangkat menuju toko obat tadi.
            “Assalamualaikum” Dari pintu yang mulai terbuka pelan nampak wajah Pritha. Diciumnya tangan sang ibu tersayang. “Ini bu obatnya” Plastik putih bercetak sablon Toko Obat Saras segera diulurkan kepada ibunya yang sudah dari tadi menunggu. “Mana kwitansinya nak, habis berapa?” Bu Tanti bertanya pada anaknya yang masih terlihat kecapekan. Pritha seakan menyembunyikan sesuatu saat menjawab pertanyaan ibunya “Eh…anu bu’ Tadi kwitansinya jatuh”. “Ya sudah…uangnya cukup kan” Bu tanti masih saja bertanya. “Iya cukup” Jawab Pritha sembari menuangkan air putih untuk keperluan ibunya minum obat.
            4 hari sudah bu Tanti dirawat di Rumah Sakit. Keadaannya kini sudah membaik dan dokter bahkan sudah mengijinkannya untuk pulang. Senang sekali rasa hati Pritha “Alhamdulillah bu” Nanti siang kita pulang ya”. Beruntung di depan Rumah sakit itu ada becak yang kosong. Dengan sigap Pritha memanggil tukang becak dan memberitahukan tujuan mereka. Akhirnya becak itu berhenti di sebuah rumah kecil “Kita sudah sampai bu” Pritha menuntun dengan sabar ibunya turun dari becak. Setelah membayar ongkos becak mereka berdua masuk kedalam rumah itu. Bu Tanti merasa ada yang kurang, dia memandangi isi rumahnya dengan seksama dan mencoba mencari tahu benda apa yang seharusnya ada di ruang itu. Sepeda biru Pritha. “Nak sepeda kamu dimana?” mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut ibunya Pritha nampak gelagapan. Gadis itu bingung harus menjawab apa.
            Dalam hati Pritha berpikir bahwa ia tak bisa bohong pada ibunya “Aku menjualnya bu’”. Hampir saja bu Tanti marah mendengar jawaban anaknya. Tapi sejenak kemudian bu Tanti kembali bertanya dengan bahasa yang halus “Untuk apa nak uangnya?”. Lalu untuk apa sebenarnya Pritha menjual sepeda biru kesayangannya. Padahal selama ini hanya sepeda itu yang bisa membuatnya senang, sepeda itu sepeda kesayangannya. Ternyata sesaat sebelum bu Tanti dibolehkan pulang Pritha telah bertanya pada dokter berapa biaya administrasi yang harus ia bayar untuk pengobatan ibunya. Ternyata mereka diharuskan membayar sebanyak Rp 200.000. Itulah jumlah yang harus dibayar meski sudah menggunakan Kartu Jaminan Kesehatan dari kelurahan. Pritha memeluk tubuh ibunya tanpa berani memandang “Maaf bu’ aku harus menjual sepeda itu karena aku lebih sayang pada ibu”. Mendapati jawaban anaknya yang seperti itu bu Tanti trenyuh. Selanjutnya mereka berdua menangis dalam perasaan haru.