Saat yang lain asik bermain Tamiya Udin hanya bisa melongo mengagumi permainan yang harganya mahal itu. Bocah kecil itu tak mungkin bisa membeli mainan yang harganya setara dengan uang sakunya selama 1 bulan. “Ngeng…ngeng” “Wah bagus bener Tamiya kamu Jon” Kata itu yang terucap dari mulut Udin saat mengetahui Joni teman sekampungnya mempunyai Tamiya baru lagi. “Iya kemarin aku baru beli di toko mainan…harganya Rp.300.000” Joni membanggakan mainan barunya itu pada Udin. Dengan bentuk menyerupai mobil balap Formula 1 membuat mainan itu tambah menarik. Saat sore hari biasanya anak-anak seusia Udin berkumpul di rumah Joni untuk beradu Tamiya pada lintasan yang terbuat dari papan akrilik. Hampir semua teman Udin punya mainan yang seperti itu hanya dia yang tak punya. Pingin juga main bersama mereka namun melihat harga semahal itu membuat Udin harus puas gigit jari saja. “Sudah kau pulang saja sana, ngapain disini kamu kan nggak punya Tamiya seperti milik kami” Edi yang terkenal sombong  mendorong tubuh Udin hingga terjerembab ke tanah. Teman lain malah mengejek dan tertawa semakin keras melihat kejadian yang menimpa Udin. Tak mau dipermalukan lagi bocah kecil itu pun pulang dengan rasa jengkel. “Suatu saat aku akan punya mainan yang lebih bagus dari kalian” Udin mengguman dalam hati.
            Pernah sekali Udin meminta ayahnya untuk membelikan mainan seperti yang dimiliki teman-temannya tapi pak Adi tak mengabulkan permintaannya. “Nak…ayah sedang tak punya uang apalagi bulan ini biaya listrik dan air naik 30%” Ayah Udin yang bekerja sebagai penjaga palang perlintasan Kereta Api itu hanya punya gaji pas-pasan dan uangnya tentu saja lebih suka ia gunakan untuk keperluan yang sifatnya benar-benar penting saja. Sebenarnya pak Adi kasihan juga pada anaknya yang hanya bisa melihat ketika teman-teman anaknya itu terlihat asik beradu Tamiya atau sekedar menghias Tamiya dengan sticker warna-warni. “Suatu saat kamu pasti punya mainan yang lebih mengasikkan” Udin mengangguk ketika ayahnya mengelus kepalanya sambil mengucapkan kata yang memumupuskan harapannya untuk mempunyai Tamiya.
            Pulang kerja pak Adi memanggil-mangil anaknya yang saat itu tak ada didepan rumah. Padahal biasanya Udin selalu ada didepan rumah menyambut kedatangan ayahnya. “Din…Din..dimana kamu nak…ayah pulang” Berulang kali pak Adi memanggil nama anaknya namun tak kunjung juga ada jawaban dari yang dicari. Ternyata Udin tidur di kamarnya. Udin tak punya semangat lagi untuk main bersama teman-temannya karena ia tak juga punya Tamiya. Daripada menjadi bahan ejekan, bocah itu memilih tidur saja dirumah. Dalam genggaman bocah kecil itu nampak sebuah majalah anak bergambar Tamiya yang paling baru. Pak Adi seakan paham perasaan anaknya “Kau pasti ingin punya mainan Tamiya ini nak tapi ayah yakin kamu bisa membuat mainan yang lebih hebat dengan tanganmu sendiri”. Ayah Udin itu keluar dari kamar anaknya dan mengambil sebuah buku ketrampilan dari dalam jok sepeda motornya. Pak Adi masuk lagi ke kamar anak laki-lakinya tersebut, ia berjalan pelan agar anaknya tak terbangun. Dibenamkannya buku bersampul coklat itu kepelukan Udin dan menarik majalah anak yang terhimpit kuatnya genggaman tangan anak laki-lakinya.
            Saat bangun tidur Udin kaget karena majalah anak yang tadi dibacanya berganti rupa menjadi buku yang belum pernah ia lihat “Kemana majalahku tadi…hah buku apa ini kok sudah ada ditanganku?”. Dibacanya dengan seksama tulisan yang ada disampul depan buku itu “Buku Ketrampilan : Cara Mudah Membuat Mainan sendiri”. Semakin penasaran saja Udin. Ia terus membolak-balik isi buku yang entah darimana asalnya ia tak tahu. Isi buku itu menarik hingga membuat Udin lupa akan mainan mahal yang selama ini diimpikan. Pada halaman pertama buku itu dijelaskan bagaimana cara membuat mainan sendiri. Mulai dari bahan yang digunakan, alat yang dipakai hingga cara membuatnya tergambar jelas lewat ilustrasi dan petunjuk yang ada dalam buku setebal 50 halaman itu.
            Pandangan mata Udin terhenti saat dalam buku itu terlihat sebuah mainan yang belum pernah dilihatnya. Mainan itu berbentuk bulat panjang berbahan bambu. Dibacanya terus tulisan yang ada disamping kanan kiri gambar tadi hingga kini ia tahu nama mainan itu “Wow…Gasing Bambu keren banget” . Pandangan mata Udin berbinar. Ia seakan menemukan apa yang selama ini ia butuhkan. Permainan yang murah dan keren. Dalam buku itu dijelaskan bahwa untuk membuat Gasing yang dibutuhkan hanyalah : bambu, papan kayu serta tali untuk memainkannya. Semua bahan itu menurut Udin mudah dicari “Aku bisa menemukan semua bahan yang kubutuhkan ini di belakang rumah” Penuh semangat Udin menuju belakang rumahnya dan mulai memilih bahan untuk mainan barunya. Sebatang bambu kini sudah ada ditangannya. Digergajinya bambu itu sesuai ukuran yang sudah lebih dulu ia pastikan dengan menggunakan penggaris. Kemudian dilubanginya bagian tengah bambu itu “Nanti gasing ini akan bersuara” Udin bicara sendiri sambil membersihkan lubang hasil pahatannya. “Sekarang tinggal menutup bagian atas dan bawah bambu ini dengan papan yang tadi sudah aku bentuk bundar” Diambilnya papan kayu berbentuk bundar lalu ditutupkan pada seruas bambu yang kini sudah ia ubah menjadi Gasing tersebut.
            “Masih ada yang kurang nih…apa ya?” Udin merasa pada gasingnya masih ada yang mesti dilakukan. “Oh aku tahu..aku bisa menghiasnya dengan politur agar kelihatan lebih indah” Politur yang ada di gudang ia tuang pada sebuah cawan kecil dan kini ia asik mengoleskan politur kuning bening itu diatas permukaan gasing hasil ketrampilan tangannya tersebut. Setelah menunggu beberapa jam akhirnya politur itu kering. Udin bersiap mencoba mainan barunya itu dan “Zzzingggg…Alhamdulillah hore aku berhasil” Udin meloncat girang melihat gasing buatan tangannya berputar diringi suara yang nyaring.
            Saat sedang memainkan gasing itu Joni dan Edi lewat didepan rumah Udin. Keduanya lantas berhenti dan mengintip dari balik pagar karena penasaran dengan suara nyaring mirip suara Tamiya. “Mainan apa itu keren banget?” Edi bertanya pada Joni tentang apa yang baru mereka lihat tapi Joni hanya menggeleng sama tak tahunya. Pak Adi yang hendak masuk rumah kaget melihat dua anak itu sedang mengintip di rumahnya. Kedua anak itu malu dan akhirnya memilih masuk serta meminta ijin pada Udin untuk meminjam mainan barunya itu “Din aku pinjam ya”. Udin sebenarnya sedikit kesal karena dulu mereka telah mengejeknya. Tapi pak Adi memberikan pengertian pada anaknya bahwa dendam itu sifat yang jelek. Udin pun menuruti nasehat ayahnya dipinjamkannya mainan buatan tangannya itu pada dua temannya. “Nanti kalau kalian mau kita bisa membuatnya bersama-sama” Udin mengajak dua temannya itu untuk membuat mainan seperti miliknya. “Benar Din?! Asik….” Mereka bertiga nampak bahagia dan lebih senang membuat mainan sendiri dengan panduan Buku Ketrampilan pemberian pak Adi.