“Enak banget sih jadi superstar, udah masuk TV, terkenal, duitnya
banyak lagi” Kata-kata itu terucap dari mulut siswi kelas 4 yang bernama Siti
Choiriyah saat menonton TV. Dia sekolah di SD Bina Insani. Dalam sebuah acara
yang ditontonnya nampak seorang artis cilik sedang diwawancarai tentang
kesuksesannya di dunia perfilman dan tarik suara “Menurut kamu apa sih
keuntungan jadi artis” Pertanyaan yang diajukan oleh wartawan entertainment
tersebut segera dijawab oleh si artis cilik “Ya..enak banget pokoknya..kita
punya banyak penggemar, punya banyak duit dan masih banyak lagi deh…oh iya kita
juga bakal jalan-jalan terus saat ada show luar kota, gratis lagi”. Jawaban dari artis cilik
itu makin membuat Choir ngiler dan tertarik untuk menjadi superstar. “Aku harus
ikut kontes/audisi supaya bisa terkenal seperti dia” Gumam Choir.
Semenjak punya
tekad untuk menjadi superstar Choir jadi rajin membeli majalah yang isinya
hal-hal berbau artis. Uang saku yang didapat dari orang tuanya dikumpulkan tapi
bukan untuk ditabung melainkan untuk membeli barang yang dirasanya bisa
mendukung dirinya menjadi artis. “Sepertinya uangku sudah cukup nih buat beli
rok mini dan celana pensil” Choir membuka kotak kecil tempat penyimpanan
uangnya dan bergegas menuju mall yang ada di pusat kota.. Kini mulai dari gaya berpakaian, tingkah laku dan
segala-galanya tentang artis dijiplak habis-habisan oleh Choir di kehidupannya
sehari-hari. Choir yang dulu anak pendiam, rajin dan solekhah kini menjadi
pribadi baru. 180 derajat perbedaan yang terjadi dalam diri Choir. Jilbab yang
dulu selalu melekat di kepalanya kini sudah ditanggalkan. Malahan rambutnya
diwarnai dengan cat rambut warna kuning keemasan, funky dan gaul katanya.
Di halaman 19 pada majalah yang digenggamnya Choir
menemukan pengumuman audisi artis cilik. “Segera daftarkan diri kamu kalo
pingin jadi superstar” Begitu tulisan bercetak tebal yang tertera pada halaman
warna bergambar artis-artis yang sudah terkenal. “Wah ini dia yang aku
butuhkan” Choir semakin terlecut semangatnya. Ia lupakan PR dari Ustadzahnya,
buku pelajaran miliknya sekarang tak pernah lagi disentuh. Jangankan
mengerjakan PR memilih buku pelajaran saja ia lakukan 6 menit sebelum berangkat
sekolah, itu artinya dia sama sekali tak
pernah belajar. Padahal untuk jadi orang yang pandai kita harus belajar bukan?.
Setelah mengisi formulir pendaftaran dan
mengirimkan ke alamat yang tertera Choir kini tinggal menunggu apakah dirinya
berhasil masuk dalam daftar audisi tersebut atau tidak. Tiap ada kesempatan dia
berlatih menyanyi dengan suara keras dia mematut diri di depan cermin dan
berpura-pura layaknya artis yang ada di atas penggung. Sisir yang ada di
tangannya ia ibaratkan sebagai mic, sambil berlenggak-lenggok mengikuti irama
musik yang keluar dari Tape di kamarnya.
Selang beberapa
hari nampak Pak Pos datang ke rumah Choir “Ada surat
neng…silahkan tanda tangani tanda terima ini”. Blangko yang disodorkan pegawai
Pos tersebut diserobot oleh Choir dan ditanda tangani dengan cepat. “Makasih
pak” Choir tak sabar membuka amplop bertuliskan “Audisi Artis Cilik”. “Yes…aku masuk audisi” Choir meloncat
kegirangan mengetahui bahwa ia punya kesempatan jadi artis.
Hari yang dinantikan tiba. Sebuah gedung megah nampak
dikerumuni ratusan anak kecil yang mengantri sambil memegangi nomor urut. “Ini
pasti tempatnya” Choir yakin bahwa di gedung itu telah menanti takdir barunya
menjadi seorang superstar atau artis cilik. “No 153 silahkan maju” Suara itu
nyaring terdengar dari pengeras suara. Nomor yang dipanggil ternyata nomor urut
Choir. Mengumpulkan segala keberanian gadis kecil itu melangkah maju. Setelah
selesai melakukan semua rangkaian tes yang diajukan kepadanya Choir dinyatakan
lolos masuk ke babak final.
Proses yang panjang akhirnya membawa Choir menjadi pemenang
audisi itu dan akhirnya cita-citanya menjadi superstar kesampaian. Tawaran
untuk show di berbagai kota
pun berdatangan. Manager menyanggupi semua kontrak yang masuk. Jangankan
istirahat barang satu atau dua hari untuk bermain bersama teman, untuk sholat
yang sudah menjadi kewajiban pun mulai ditinggalkan Choir. Kini bahkan Choir
mendapat pinjaman mobil dari agensi yang ikut mengorbitkannya. Dalam mobil itu
yang ada hanyalah mainan-mainan mahal, majalah infotainment dan barang-barang
untuk keperluan pentas. Tak ada sajadah, mukena ataupun buku pelajaran.
Tawaran pentas yang begitu padat membuat Choir tak
konsentrasi lagi pada kewajibannya sebagai mahluk ciptaan Allah maupun sebagai
siswi SD. Hingga…..“Kerjakan soal no 3 di papan tulis, Choir ayo maju !” Perintah
dari Ustadzah Farida tersebut membuyarkan lamunan Choir. “Aduh kok aku ya yang
disuruh” Dideretan bangku belakang nampak Siti Choiriyah kebingungan. Sementara
teman sekelasnya terus saja meneriakkan nama Choir. “Choir cepat dong kerjakan
nanti kita nggak pulang-pulang nih”. Untuk memacu muridnya Ustadzah Farida
memang selalu memberikan tugas di akhir
jam pelajaran, kalau soalnya tak terselesaikan itu berarti jadwal pulang
pun molor dan siswa yang ditunjuk akan mendapatkan sanksi sebagai akibat kemalasan
belajar. Tapi siang itu Choir tak punya lagi tenaga, ia kecapekan setelah
melakoni jadwal pentas yang padat.
Bel sebanyak 3 kali
pertanda berakhirnya jam pelajaran terakhir yang sekaligus tanda saat pulang
siswa telah berbunyi “Thet…thet…thet”. Ditunggu beberapa menit Choir tak juga
mampu mengerjakan soal no 3 yang telah dibebankan kepadanya. Teman sekelas
Choir semakin gusar “Gara-gara kamu sih kita jadi pulang telat…huuuu” Serentak
sorakan pun ditujukan kepada Choir. Bukannya menjadi bersemangat Choir malah
menangis karena malu. “Aku ogah jadi superstar…lebih baik aku belajar agar aku
menjadi orang yang berilmu dan berguna bagi diriku atau orang lain” Choir
tersadar bahwa menjadi superstar tak selamanya mengenakkan. Kini meskipun
banyak kontes menjadi bintang, Choir tak lagi peduli dan tak tertarik. Choir
berjanji untuk tak lagi jadi superstar.
okey bro...
BalasHapusthanks ceritanya