Tolak ukur untuk tiga sudut pandang ini adalah :

1. Ekonomis, bisnis adalah baik, kalau menghasilkan laba.
2. Hukum, bisnis adalah baik, jika diperbolehkan oleh hukum.
3. Etika atau moral, bisnis lebih sulit ditentukan baik tidaknya bila dilihat dari sudut pandang moral/etika.
Menurut K. Bertens (2000) yang menjadi tolok ukur untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau tingkah laku adala :
1. Hati Nurani
2. Kaidah Emas
3. Penilaian Umum
Perkembangan Etika Bisnis
Menurut Richard De George (K.Bertens, 2000:37) mengusulkan untuk membedakan antara ethics in business dan business ethics (antara etika dalam bisnis dan etika bisnis). Sejak ada bisnis, sejak saat itu pula bisnis dihubungkan dengan etika.
Etika bisnis dalam arti khusus ini untuk pertama kali timbul di Amerika Serikat dalam tahun 1970-an dan cepat meluas ke kawasan dunia lainnya.
1. Situasi Dahulu
2. Masa peralihan tahun 1960-an
3. Etika bisnis lahir di Amerika Serikat tahun 1970-an
4. Etika bisnis meluas ke Eropa tahun 1980-an
5. Etika bisnis menjadi fenomena global tahun 1990-an
Profil Etika Bisnis Dewasa ini
Etika bisnis sudah mencapai status sebagai sumber bidang intelektual dan akademis yang patut diperhitungkan.
1. Praktis disegala bidang kawasan dunia etika bisnis diberikan sebagai mata kuliah di perguruan tinggi (menurut dugaan De George tahun 1987 di Amerika Serikat)
2. Banyak sekali publikasi diterbitkan tentang etika bisnis (menurut De George tahun 1987 di Amerika Serikat menyebutkan paling sedikit 20 buku pegangan etika bisnis dan 3 serial buku tentang etika bisnis)
3. Sudah cukup banyak jurnal ilmiah khusus tentang etika bisnis.
4. Kamus etika bisnis dalam berbahasa Jerman (judul : Lexikon der Wirtschaftsethik tahun 1993)
5. Sudah didirikan beberapa asosiasi atau himpunan dengan tujuan khusus memajukan etika bisnis.
6. Di Amerika Serikat dan Eropa Barat disediakan beberapa program studi tingkat S-1 dan S-3, khusus di bidang etika bisnis.
7. Sekarang dapat ditemukan juga banyak institut penelitian yang secara khusus mendalami masalah etika bisnis.
ETIKA DALAM BISNIS INTERNASIONAL
Dalam perspektif sejarah, perdagangan merupakan faktor penting dalam pergaulan antara bangsa-bangsa. Sejarawan besar dari Skotlandia, William Robertson (1721-1793), menegaskan bahwa, “perdagangan memperlunak dan memperluas cara pergaulan manusia.
Sedangkan filsuf dan ahli ilmu politik perancis, Montesquieu (1689-1755) bahwa, “hampir menjadi gejala umum bahwa dimana adat istiadat bersifat halus, di situ ada perdagangan, dan dimana ada perdagangan, di situ adat istiadat bersifat halus”.
Etika Pasar Bebas
David Gauthier (K. Bertens, 2000:139) mengatakan bahwa pasar yang sempurna tidak membutuhkan moralitas. Moralitas baru diperlukan bila pasar gagal atau mempunyai kekurangan-kekurangan.
Alasan tidak dibutuhkan moralitas :
1. Kompetisi berjalan dengan sempurna
2. Kepentingan-kepentingan pribadi masing-masing orang secara sempurna sesuai dengan kepentingan sosial seluruh masyarakat.
3. Setiap orang mengejar kepentingan diri yang selalu sejalan dengan dengan kepentingan diri dari pihak lain.
4. Semua orang mengambil keputusan rasional yang selalu cocok dengan keputusan rasional yang tepat dari orang lain.
Aspek-aspek etis dari korporasi multinasional
Korporasi multinasional (KMN) adalah perusahaan yang mempunyai investasi langsung dalam dua negara atau lebih.
Bentuk pengorganisasian KMN bisa berbeda-beda. Biasanya perusahaan-perusahaan di negara lain sekurang-kurangnya untuk sebagian dimiliki oleh orang setempat, sedangkan manajemen dan kebijakan bisnis yang umum ditanggung oleh pimpinan perusahaan di negara asalnya.
Menurut De George (K. Bertens, 2000:359)
Sepuluh aturan yang berguna untuk menilai etis tidaknya kegiatan Korporasi Multinasional (KMN) diantaranya tujuh norma pertama berlaku untuk semua KMN, sedangkan tiga aturan terkahir terutama dirumuskan untuk industri berisiko khusus seperti pabrik kimia atau pabrik nuklir. Kesepuluh aturan ini yaitu:
1. Korporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan kerugian langsung.
2. Korporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat daripada kerugian bagi negara di mana mereka beroperasi.
3. Dengan kegiatan korporasi multinasional itu harus memberi kontribusi kepada pembangunan negara di mana ia beroperasi.
4. Korporasi multinasional harus menghormati Hak Asasi Manusia dari semua karyawannya.
5. Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis, korporasi multinasional harus menhormati kebudayaan lokal itu dan bekerja sama dengannya, bukan menentangnya.
6. Korporasi multinasional harus membayar pajak yang fair.
7. Korporasi multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah setempat dalam mengembangkan “beckground institutions“ yang tepat.
8. Negara yang memiliki mayoritas saham sebuah perusahaan harus memikul tanggung jawab moral atas kegiatan dan kegagalan perusahaan.
9. Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang berisiko tinggi, ia wajib menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan dengan aman.
10. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara berkembang, korporasi multinasional, wajib merancang kemblai sebuah teknologi demikian rupa, sehingga dapat dipakai dengan aman dalam negara baru yang belum berpengalaman.