Pendahuluan
Pemerintah
telah bertekad untuk dapat memajukan masyarakat serta pendidikan
nasional, yang berakar pada kebudayaan nasional (Pasal I ayat 2
Undang-Undang No II tahun 1989), tekad ini mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan pendidikan Nasional akan selalu berpijak pada bumi dan budaya Indonesia. Berangkat dari permasalahan di atas, makalah ini disusun dan bertujuan untuk dapat mengungkap bagaimana upaya
untuk dapat memahami psikologi masyarakat Indonesia sebagai upaya
menjembatani permasalahan silang budaya, pemahaman ini diperlukan karena
pada dasarnya kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan perwujudan
(pengejawantahan) manusiawi dari individu-individu yang berada dalam
masyarakat pendukungnya sehingga permasalahan kebudayaan akan selalu berkembang sejalan dengan perkembangan pola pikir dan kebutuhan manusia yang sudah barang tentu tidak bisa lepas dari aspek psikologis dan kepribadian dari orang-orang dalam masyarakat tersebut.
Dalam
konsep yang paling dominan kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena
material, sehingga menurut faham ini pemahaman dan pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan system gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980 : 193). Sejalan dengan pengertian tersebut maka
tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh
kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi
sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia (Geertz, 1973), kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan (Folkways) dan tata kelakuan (mores ) tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi.
Masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai budaya secara logis akan mengalami berbagai permasalahan, persentuhan antar budaya akan selalu terjadi karena permasalahan silang budaya selalu terkait erat dengan curural materialisme yang mencermati budaya dari pola piker dan tindakan dari kelompok sosial tertentu dimana pola temperamen ini banyak ditentukan oleh faktor keturunan (genetic), ketubuhan dan hubungan sosial tertentu. Nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan menjadi acuan sikap dan perilaku manusia sebagai makhluk individual yang tidak terlepas dari kaitannya pada kehidupan masyarakat dengan
orietasi kebudayaannya yang khas, sehingga baik pelestarian maupun
pengembangan nilai-nilai budaya merupakan proses yang bermatra
individual, sosial dan cultural sekaligus.
Dalam kenyataan persentuhan nilai-nilai budaya sebagai manifestasi dinamika kebudayaan tidak selamanya berjalan secara mulus. Permasalahan silang buaya dalam masyarakat majemuk (heterogen) dan jamak (pluralistis) seringkali bersumber dari masalah komunikasi, kesenjangan tingkat pengetahuan, status sosial, geografis, adat kebiasaan dapat merupakan kendala bagi tercapainya suatu consensus yang perlu disepakati dan selanjutnya
ditaati secara luas. Ditambah lagi dengan posisi Indonesia sebagai
negara berkembang, akan selalu mengalami perubahan yang pesat dalam
berbagai aspek kehidupan, maka dengan meminjam istilah Budiono, yang menyatakan bahwa pangkal masalah dalam masyarakat Indonesia adalah : masyarakat Indonesia cenderung
dapat dipandang sebagai “suatu masyarakat besar yang belum selesai”.
Hal ini dapat dikembalikan pada adanya berbagai dorongan sentripetal dan
sentrifugal yang bersilangan secara terus menerus naik ke permukaan secara silih berganti. Persentuhan antar budaya yang terjadi secara dinamis dalam proses tawar menawar bisa mewujudkan perubahan tata nilai yang tampil sekedar sebagai
pergeseran ( (shift) antar nilai, atau peresengketaan (conflict) antar
nilai atau bahkan dapat berupa benturan (clash) antar nilai tersebut.
Apapun bentuk dan perwujudan dari permasalahan silang budaya, harus
dapat dipandu dan dikendalikan, atau paling tidak diupayakan adanya
mekanisme yang dapat menjembatani permasalahan ini, baik melalui jalur pendidikan maupun media masa.
Harus dipahami bahwa penggalian budaya nasional bukan diarahkan
konformisme budaya, tetapi lebih diarahkan pada totalitas nilai dan
perilaku yang mencerminkan hasrat dan kehendak masyarakat Indonesia
dalam berbangsa dan bernegara sehingga mempunyai dua arah pokok yaitu
fungsi pelestarian dan fungsi pengembangan. Fungsi pelestarian diarahkan
pada pengenalan dan pendalaman nilai-nilai luhur budaya bangsa yang
bersifat universal, dan merupakan kekayaan budaya bangsa yang tak
ternilai harganya, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh rasa cinta tanah air dan kebanggan nasional. Dalam fungsi pengembangan diarahkan pada perwujutan
budaya nasional yaitu perpaduan keragaman budaya tradisional ditambah
dengan nilai-nilai baru yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai
universal yang berlaku dalam budaya masyarakat, guna memperkaya budaya
bangsa dan mempekukuh jati diri dan kepribadian bangsa. Kebudayaan
Etnis yang kadangkala sedemikian kuat membelenggu, perlu dipahami
sebagai kebudayaan sekumpulan individu yang bersatu kedalam etnis
tertentu oleh karenanya permasalahan silang budaya, hanya dapat
terjembatani dengan pemahaman bahwa keutuhan suatu bangsa dapat
terbentuk dengan kesadaran setiap individu dan kesadaran setiap etnis
yang terhimpun dalam suatu bangsa , sehingga perlu membina kesadaran
individu dan kesadaran etnis sebagai himpunan individu.
Psikologi Masyarakat
Masyarakat dan kebudayaannya pada dasarnya merupakan
tayangan besar dari kehidupan bersama antara individu-individu manusia
yang bersifat dinamis. Pada masyarakat yang kompleks (majemuk) memiliki
banyak kebudayaan dengan standar perilaku yang berbeda dan kadangkala
bertentangan, Perkembangan kepribadian individu pada masyarakat ini
sering dihadapkan pada model-model perilaku yang suatu saat diimbali
sedang saat yang lain disetujui oleh beberapa kelompok namun dicela atau
dikutuk oleh kelompok lainnya, dengan demikian seorang anak yang sedang
berkembang akan belajar dari kondisi yang ada, sehingga perkembangan
kepribadian anak dalam masyarakat majemuk menunjukkan bahwa pola asuh
dalam keluarga lebih berperan karena pengalaman yang dominan akan
membentuk kepribadian, satu hal yang perlu dipahami bahwa pengalaman
seseorang tidak hanya sekedar bertambah dalam proses pembentukan
kepribadian, namun terintegrasi dengan pengalaman sebelumnya, karena
pada dasarnya kepribadian yang memberikan corak khas pada perilaku dan
pola penyesuaian diri, tidak dibangun dengan menyusun suatu peristiwa
atas peristiwa lain , karena arti dan pengaruh suatu pengalaman
tergantung pada pengalaman-pengalaman yang mendahuluinya.
Masyarakat Indonesia
sebagai salah satu negara berkembang mempunyai ciri , adanya perubahan
yang sangat pesat dalam berbagai aspek kehidupan, baik
perubahan system ekonomi, polotik sosial dan sebagainya, dan dalam
kenyataan tidak ada satupun gejala perubahan sosial yang tidak
menimbulkan akibat terhadap kebudayaan setempat. Kebudayaan dianggap
sebagai sumber penggalangan konformisme perilaku individu pada
sekelompok masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, karena setiap anak
manusia lahir dalam suatu lingkungan alam tertentu (nature) dan
dalam satu lingkungan kebudayaan tertentu (culture) yang keduanya
merupakan lingkungan yang secara apriori menentukan proses pengasuhannya
(nurture) dalam pengembangannya sebagai anak manusia, dalam proses
pembelajaran, sehingga dalam kanyataan, kebudayaan cenderung
mengulang-ulang perilaku tertentu melalui pola asuh dan proses belajar
yang kemudian memunculkan adanya kepribadian
rata-rata, atau stereotype perilaku yang merupakan ciri khas dan
masyarakat tertentu yang mencerminkan kepribadian modal dalam lingkungan
tersebut, dari pemahaman ini kemudian muncul stereotipr perilaku pada
sekelompok individu pada masyarakat tertentu..
Konsep watak kebudayaan sebagai kesamaan regularities sifat di dalam organisasai intra psikis individu anggota
suatu masyarakat tertentu yang diperoleh karena cara pengasuhan anak
yang sama di dalam masyarakat yang bersangkutan, (Margaret Mead,)
Apabila ini dikaitka dengan konsep watak masyarakat (social character)
dilandasi oleh pikiran untuk menghubungkan kepribadian tipical dari
suatu kebudayaan (watak masyarakat) dengan kebutuhan obyektif masyarakat yang dihadapi suatu masyarakat. Dalam hal ini Danandjaja : 1988 ) ingin menggabungkan antara gagasan lama tentang sifat adaptasi pranata sosial terhadap kondisi lingkungan, dengan modifikasi karakterologi psiko analitik. Teori Erich Formm mengenai watak masyarakat (social character) kendati mengakui juga asumsi dari teori lainnya mengenai tranmisi kebudayaan dalam hal membentuk “kepribadian tipikal’ atau kepribadian kolektif
namun dia telah juga mencoba untuk menjelaskan fungsi-fungsi sosio
historical dari tipe kepribadian tersebut. Yang menghubungkan kepribadian tipikal dari suatu kebudayaan dengan kebutuhan obyektif yang dihadapi suatu masyarakat. Untuk memuskan hubungan itu secara efektif suatu masyarakat perlu menerjemahkannya kedalam unsur-unsur watak (traits) dari individu anggotanya agar mereka bersedia melaksanakan apa yang harus mereka lakukan.
Unsur-unsur
watak bersama tersebut membentuk watak masyarakat dari masyarakat
tersebut melalui latihan yang dilakukan oleh orang tua terhadap
anak-anak mereka, sementara orang tua telah memperoleh unsur-unsur watak
tersebut baik dari orangtuanya atau sebagai jawaban langsung terhadap
kondisi-kondisi perubahan masyarakat Dalam konteks ekologi kebudayaan
manusia merupakan hasil dari 2 proses yang saling mengisi yaitu adanya
perkembangan sebagai hasil hubungan manusia dengan
lingkungan alamnya yang mendorong manusia untuk memilih cara dalam
menyesuaikan diri secara aktif dan kemampuan manusia dalam berpikir
metaphoric sehingga dapat memperluas
atau mempersempit jangkauan dari lambang-lambang dalam system arti yang
berkembang sedemikian rupa sehingga lepas dari pengertia aslinya,
sehingga kebudayaan secara umum diartikan sebagai kompleksitas system
nilai dan gagasan vital yang menguasai atau merupakan pedoman bagi
terwujudnya pola tingkah laku bagi masyarakat pendukungnya.
Masyarakat Multikultural dan Masalah Silang Budaya
Masyarakat indonesia dan kompleks kebudayaannya masing-masing plural (jamak ) dan heterogen
(anekaragam). Pluralitas sebagai kontradiksi dari singularitas
mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, yaitu
dijumpainya berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak bisa di satu kelompokkan satu dengan yang lainnya, demikian pula dengan kebudayaan mereka, sementara heterogenitas merupakan kontraposisi dari homogenitas mengindikasi suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan ketidak samaan dalam unsur-unsurnya.
Hambatan-hambatan yang potensial dimiliki
oleh suatu masyarakat yang plural dan heterogen juga dapat ditentukan
dalam banyak aspek lainnya : Struktur sosial yang berbeda akan menghasilkan pola dan proses pembuatan keputusan sosial yang berbeda, pluralitas dan heterogentitas seperti diuraikan di atas juga
tanpa memperoleh tantangan yang sama kerasnya dengan tantangan terhadap
upaya untuk mempersatukannya melalui konsep negara kesatuan yang mengimplikasikan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dilakukan secara sentralistik.
Masyarakat
Indonesia yang majemuk yang terdiri dari berbagai budaya, karena adanya
berbagai kegiatan dan pranata khusus dimana setiap kultur merupakan
sumber nilai yang memungkinkan terpeliharanya
kondisi kemapanan dalam kehidupan masyarakatta pendukungnya, setiap
masyarakat pendukung kebudayaan (culture bearers) cenderung menjadikan
kebudayaannya sebagai kerangka acuan bagi perikehidupannya yang sekaligus untuk mengukuhkan jati diri sebagai kebersamaan yang berciri khas (Fuad Hassan, 1998). Sehingga perbedaan antar kebudayaan,
justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri dan
integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam
tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek
moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah budaya
nasional karena diunggulkannya suatu nilai oleh seseorang atau
sekelompok masyarakat, bukan berarti tidak dihiraukannya nilai-nilai
lainnya melainkan kurang dijadikannya sebagai acuan dalam
bersikap dan berperilaku dibandingkan dengan nilai yang diunggulkannya.
Sehingga permasalahan multicultural justru merupakan suatu keindahan
bila indentitas masing-masing budaya dapat bermakna dan diagungkan oleh masyarakat pendukungnya serta dapat dihormati
oleh kelompok masyarakat yang lain , bukan untuk kebanggan dan sifat
egoisme kelompok apalagi bila diwarnai oleh kepentingan-kepentingan
politik tertentu misalnya digunakanya symbol-simbol budaya jawa yang “salah kaprah” untuk membengun struktur dan budaya politik yang sentralistik.
Masalah yang biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah adanya persentuhan dan saling hubungan antara kebudayaan suku bangsa dengan kebudayaan umum lokal, dan dengan kebudayaan nasional. Diantara hubungan-hubungan ini yang paling kritis adalah hubungan antara kebudayaan suku bangsa dan umum local di satu pihak dan kebudayaan nasional di pihak lain. Pemaksaan
untuk merubah tata nilai atau upaya penyeragaman budaya seringkali
dapat memperkuat penolakan dari budaya-budaya daerah, atau yang lebih
parah bila upaya mempertahankan tersebut, justru disertai dengan semakin menguatnya Etnosentrime
Etnosentrisme secara formal didefinisikan sebagai pandangan bahwa
kelompok sendiri adalah pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu
dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelmok sendiri. Etnosentrisme
membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur baik buruknya,
atau tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan lain dalam
proporsi kemiripannya dengan kebudayaan sendiri, adanya. kesetiakawanan
yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri
disertai dengan prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa yang lain. Orang-orang
yang berkepribadian etnosentris cenderung berasal dari kelompok
masyarakat yang mempunyai banyak keterbatasan baik dalam pengetahuan,
pengalaman, maupun komunikasi,
sehingga sangat mudah terprofokasi. Perlu pula dipahami bahwa sebagian
besar masyarakat Indonesia masih berada pada berbagai keterbatasan
tersebut.
Ditambahkan oleh Budiono bahwa ; Dalam
masyarakat selalu bekerja dua macam kekuatan yaitu kekuatan yang ingin
menerima perubahan dan kekuatan yang menolek adanya perubahan. Meskipun
selalu terdapat dua kekuatan, namun sejarah memperlihatkan bahwa kaum konserfatif cepat atau lambat akan terdesak untuk memberi tempat pada adanya perobahan. Proses itu seringkali
tidak berjalan secara linier, tapi berjalan maju mundur. Konflik antara
kaum progresif dengan kaum konserfative maupun konflik diantara kaum
progresif itu sendiri. Dalam “masyarakat yang sudah selesai” konflik itu sudah ditempatkan dalam suatu
mekanisme yang biasanya merupakan tatanan sosial politik yang sudah
dirasionalisasikan sehingga konflik itu didorong untuk diselesaikan
secara argumentatif. Sebaliknya pada masyarakat berkembang (masyarakat
yang belum selesai) konflik itu biasanya berlangsung “secara liar”
karena para pelakunya masih sama-sama mencari mekanisme untuk
menyelesaikan/ mengatasi perbedaan-perbedaan di antara mereka secara rasional, susahnya dalam bersama-sama mencari mekanisme itu masing-masing kekutan progresif itu juga berusaha untuk
mencari kekuatan yang dominan, untuk mencari dan menentukan bentuk
mekanisme penyelesaian, kadang-kadang bentuk mekanisme itu bisa
diusahakan serasional mungkin tetapi bisa saja terjadi bahwa usaha-usaha itu dipadu dengan pemaksaan fisik.
Dengan
pemahaman pada fenomena tersebut landasan sosial budaya masyarakat
Indonesia yang bercorak pada masyarakat majemuk (plural society) perlu
memperoleh perhatian dan dikaji kembali, karena ideology masyarakat
majemuk lebih menekankan pada keanekaragaman suku bangsa akan sangat
sulit untuk diwujudkan dalam masarakat yang demokratis dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Untuk
mencapai tujuan proses-proses demokratisasi, ideology harus digeser
menjadi ideology keanekaragaman budaya atau multi kulturalisme,
Kemajeukan masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa
maka yang nampak menyolok dalam kemajemukan masyarakat Indonesia adalah
penekakanan pada pentingnya
kesukubangsaan yang terwujud dalam komunitas-komunitas suku bangsa, dan
digunakannya kesukubangsaan tersebut sebagai acuan utama bagi jati diri
individu. Ada sentimen-sentimen kesuku bangsaan yang memiliki potensi
pemecah belah dan penghancuran sesama bangsa Indonesia karena masyarakat
majemuk menghasilkan batas-batas suku bangsa yang didasari oleh
stereotip dan prasangka yang menghasilkan penjenjangan sosial, secara
primordial dan sobyektif. Konflik-konflik
yang terjadi antar etnik dan antar agama yang terjadi, sering kali
berintikan pada permasalahan hubungan antara etnik asli setempat dengan
pendatang, konfkil –konflik itu terjadi karena
adanya pengaktifan secara berlebihan jatidiri etnik untuk solidaritas
dalam memperebutkan sumber daya yang ada (Hamengku Buwono X. 2001).
Kendala dan Upaya Penyelesaian Permasalahan Silang Budaya
Dengan mencermati berbagai permasalahan silang budaya dan kondisi masyarakat Indonesia, dapat
ditenui adanya berbagai masalah yang ditengarai sebagai kendala
penyelesaian masalah diantaranya adalah : (1) Rendahnya tingkat
pengetahuan, pengalaman, dan jangkauan komunikasi sebagian masyarakat
yang dapat mengakibatkan rendahnya
daya tangkal terhadap budaya asing yang negatif, dan keterbatasan dalam
menyerap serta mengembangkan nilai-nilai baru yang positif, sekaligus
mudah sekali terprofokasi dengan isu-isu yang dianggap mengancam
eksistensinya (2) Kurang maksimalnya media komunikasi dalam memerankan
fungsinya sebagai mediator dan korektor informasi, (3) Paradigma
pendidikan yang lebih menekankan pengembangan intelektual
dengan mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional, pembentukan sikap
moral, dan penanaman nilai budaya. Manusia terbuai kegiatan &
pembangunan yang pragmatis, yang memberikan manfaat materiil yang lebih
mudah teramati dan terukur, sehingga seringkali sangsi formal lebih
ditakuti daripada sangsi moral. (4). Meningkatnya gejala “Societal crisis on caring” (krisis pengasuhan dan kepedulian dalam masyarakat) karena tingginya mobilitas sosial dan transformasi kultural yang ditangkap dan diadopsi secara terbatas.
Sejalan dengan berbagai kendala yang ada maka upaya penyelesaian permasalahan silang budaya dapat dilakukan dengan : Pertama dapat dilakukan dengan membangun kehidupan multi kultural yang sehat ; dilakukan dengan meningkatkan
toleransi dan apresiasi antarbudaya. Yang dapat diawali dengan
peningkatan tingkat pengetahuan masyarakat tentang kebhinekaan budaya,
dengan berbagai model pengenalan ciri khas budaya tertentu, terutama psikologi masyarakat yaitu pemahaman pola perilaku khusus masyarakatnya. Kedua : Peningkatan
peran media komunikasi, untuk melakukan sensor secara substantif yang
berperan sebagai korektor terhadap penyimpangan norma sosial yang
dominan, dengan melancarkan tekanan korektif terhadap subsistem yang
mungkin keluar dari keseimbangan fungsional. Pengungkapan skandal atau
perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan melecehkan nilai-nilai
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, harus disiarkan dengan fungsi
sebagai pemeliharaan kestabilan. Sedang kontrol secara distributif, berfungsi memelihara keseimbangan sistem melalui diseminasi selektif dan berbagai ragam teknik-teknik penyebaran maupun penyaringan
informasi, yang mungkin dapat mengundang kemelut dalam masyarakat atau
menimbulkan perpecahan, justru media komunikasi dituntut untuk dapat menampilkan berbagai informasi yang bersifat apresiatif terhadap budaya masyarakat lain.
Ketiga : Strategi pendidikan yang berbasis budaya, dapat menjadi pilihan karena pendidikan berbasis adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip
bahwa manusia adalah faktor utama, sehingga manusia harus selalu
merupakan sobyek sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya
perubahan. Nilai-nilai budaya tradisional dapat terinternalisasi dalam
proses pendidikan baik di lingkungan keluarga, pendidikan formal maupun
non formal. Khususnya
pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang dapat
menyajikan model & strategi pembelajaran yang dapat menseimbangkan
proses homonisasi yang melihat manusia sebagai makhluk hidup dalam konteks lingkungan ekologinya,
yang memerlukan terasahnya kemampuan intelektual untuk menghadapi
tantangan kesejagadan dengan pendidikan sebagai proses humanisasi yang lebih menekankan manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai otonomi moral dan sensivitas /kedaulatan budaya,
sehingga terbentuk manusia yang bisa mengelola konflik, dan menghargai
kemajemukan, serta dapat tegar terhadap arus perubahan dengan
memperetajam sence of belonging, self of integrity, sence of
participation dam sence of responcibility sebagai benteng terhadap
pengaruh faktor eksternal tersebut, transformasi budaya harus dipandu
secara pelan-pelan, bukan merupakan revolusi yang dipaksakan.
Kesimpulan
Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan,
menampakkan bahwa kongruensi antara aspek kebhinekaan yang manunggal
dalam ke ekaan mulai menjadi mesalah yang tak pernah kunjung selesai.
Masyarakat majemuk yang menekankan keanekaragaman etnik sepatutkan
dikaji ulang untuk digeser pada pluraisme budaya (multi
culturalme) yang mencakup tidak hanya kebudayaan etnik tapi juga
berbagai lokal yang ada di Indonesia, sekaligus harus dibarengi oleh
kebijakan politik Nasional yang meletakkan berbagai kebudayaan itu dalam kesetaraan derajad.
Tranformasi
budaya dan berbagai permasalahan silang budaya harus dapat dipandu
secara perlahan lewat jalu media massa maupun pendidikan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus informasi, memerlukan
berbagai penyesuaian, baik dalam struktur pekerjaan, tuntutan keahlian
mobilitas sosial dan sebagainya, dalam proses perubahan tersebut bila
tidak memiliki akar budaya yang kuat akan kehilangan identitas diri,
dan terbawa arus. Tatanan sosial dan tradisi lokal yang berakar kuat
akan memberikan sentuhan halus yang mengingatkan manusia agar tidak
terbawa arus perubahan yang demikian dahsyat. Nilai
budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat, akan selalu berakar dari
kearifan tradisional yang muncul dan berkembang sejalan dengan
perkembangan masyarakat itu sendiri, kemajemukan masyarakat Indonesia
dengan ciri keragaman budayanya tidak bisa secara otomatis terintegrasi
menjadi kebudayaan Nasional, yang sama mantapnya dengan setiap sistem
adat yang ada, karena kebudayaan Nasional tersebut baru pada taraf pembentukan. Dengan berpijak pada pemahaman tersebut,
nampak bahwa kebijakan pendidikan yang sentralistik menjadi tidak
relevan. Strategi pendidikan yang berbasis budaya, dapat menjadi pilihan
karena pendidikan berbasis adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip
bahwa manusia adalah faktor utama, sehingga manusia harus selalu
merupakan sobyek sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya
perubahan. Nilai-nilai budaya tradisional dapat terinternalisasi dalam
proses pendidikan baik di lingkungan keluarga, pendidikan formal maupun
non formal. Khususnya
pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang dapat
menyajikan model & strategi pembelajaran yang dapat menseimbangkan
proses homonisasi dan humanisasi.
Daftar Pustaka
Budiono Kusumohamodjojo, 2000, Kebhinekaan Masyarakat Indonesia, Grasindo Jakarta
Danandjaja James, 1988, Antropologi Psikologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Hamengku Buwono X, 2001, Implementasi Budaya Jawa Dalam Menjaga Keutuhan dan Persatua Bangsa, Mungkinkah? Makalah Seminar, Solo, Agustus 2001
Paul B. Horton & Chester LH, Terj. Aminuddin Ram, 1992, Sosiologi, Erlangga, Jakarta
Setya Yuwana Sudikan, 2001, Metode Penelitian Kebudayaan, Citra Wacana, Surabaya
0 komentar:
Posting Komentar